"Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu merasa kesakitan, maka sesungguhnya mereka pun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (an-Nisa’:104)"

Jumat, 30 April 2010

Pesan Seorang Saudara

Apabila kamu melihat dunia dikuasai oleh ahli-ahli dunia dan Thagut dengan perhiasan dan kekosongannya, dengan penipuan dan perangkapnya dan dengan racunnya yang membunuh yang diluarnya nampak lembut tetapi di dalamnya sangat membahayakan, cepat merusak dan membunuh siapa saja yang memegangnya, yang menipu mereka dan yang menyebabkan mereka lengah terhadap dosa dan maksiat sehingga membuat kezhaliman dan kekafiran merazalela; apabila kamu lihat semua itu, maka hendaklah engkau mengasingkan diri dari itu semua
Tanda bahwa kamu telah menghindarkan diri dari mereka adalah secara keseluruhannya kamu telah memutuskan segala hubungan kamu dengan mereka dan telah membebaskan seluruh pikiranmu dengan segala hal yang bersangkutan dengan mereka, kemudian engaku berdawakwah tauhid kepada mereka dan berjihad Jalan Alloh
Terasinglah dengan berdakwah dan berjihad lalu serahkanlah segalanya kepada Allah. Penuhi hatimu dengan Allah. Patuhlah kepada perintah-Nya dan larikanlah dirimu dari larangan-Nya, agar engkau tetap istiqomah dalam keterasinganmu., kamu harus berjihad melawan mereka dan jangan menyerah kepada mereka dalam keadaan bagaimanapun juga dan dalam tempo kapanpun juga. Oleh karena itu, janganlah menghendaki sesuatu yang tidak dikehendaki oleh Allah. Kehendakmu yang tidak sesuai dengan kehendak Allah adalah kehendak nafsu. Jika kehendak ini kamu turuti, maka ia akan merusak dirimu dan menjauhkanmu dari Allah. Patuhilah perintah Allah, jauhilah larangan-Nya, bertawakallah kepada-Nya dan jangan sekali-kali kamu menyekutukan-Nya. agar kamu tidak tercebur ke lembah syirik. Allah berfirman :
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal saleh, dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS 18:110)
Syirik itu bukan melulu menyembah berhala, tetapi termasuk juga di dalamnya adalah menuruti hawa nafsu dan menyekutukan apa saja yang ada di dunia dan di akhirat dengan Allah, karena apa saja selain Allah bukanlah Tuhan. Oleh karena itu, jika kamu tumpukan hatimu,pikiran dan apapun juga darimu kepada sesuatu selain Allah, berarti kamu telah berbuat syirik. Maka, janganlah kamu menyekutukan Allah dengan jalan apapun juga, baik dengan jalan kasar maupun dengan jalan halus
Oleh karena itu, janganlah kamu mengira bahwa Allah tidak berkuasa atas segala sesuatu, janganlah kamu menduga bahwa ketentuan dan peraturan-Nya mempunyai kekurangan dan janganlah kamu merasa ragu akan janji-Nya.
Bersatu padulah dalam mentaati Allah dan janganlah berpecah-belah. Saling mencintailah di antara sesama muslim, janganlah saling mendengki dan bersikap keraslah terhadap orang-orang kafir. Hindarkanlah diri dari segala noda dan dosa. Hiasilah dirimu dengan ketaatan kepada Allah. Janganlah engkau patuh dan taat pada Thagut serta pada hokum-hukumnya. Janganlah lalai untuk bertobat kepada-Nya dan kembali kepada-Nya. Janganlah jemu untuk memohon ampun kepada Allah pada siang dan malam hari. Kamu akan menikmati kebahagiaan dan kesentausaan yang abadi di surga beserta para Nabi, orang-orang shiddiq, para syuhada’ dan orang-orang saleh. Kamu akan hidup kekal di dalam surga itu untuk selama-lamanya.

Demokrasi = kafir


Demokrasi adalah sebuah system yang  telah mendominasi perpolitikan global masyarakat dunia. Demokrasi sebagai konsep yang paling banyak diperbincangkan dan dianut oleh hampir semua negara di dunia, bahkan negara-negara otoriter  pun  mengklaim dirinya sebagai: “Negara demokrasi dengan ciri khusus yang disesuaikan dengan kepribadian bangsa”. Begitu pun Negara yang memiliki penduduk mayoritas muslim….
Demokrasi lahir akibat dari kekecewaan rakyat Yunani terhadap Kediktatoran Raja saat itu, yang pertama kali diciptakan oleh sejarawan Yunani, Herodatus. Arti demokrasi dalam bahasa harfiah berarti pemerintahan oleh, dari, dan untuk rakyat. Perkataan demokrasi, pada abad 5 SM. Demokrasi berarti pemerintahan rakyat (demo: rakyat; kratein: memerintah). Yang kemudian dengan seiring pergantian zaman demokrasi pun berevolusi, hingga bermunculan bermacam-macam jenis demokrasi.
Walaupun sisitem demokrasi ini telah diminati hampir seluruh masyarakat dunia, namun banyak juga yang mengkritiknya bahkan sejak awal pun demokrasi sudah mendapat kritik tajam dari pemikir Yunani seperti Plato, Aristoteles, dan bahkan Thucydides, karena mereka menilai bahwa warga negara biasa tidak kompeten untuk memerintah, tidak mampu melihat segala sesuatu di luar jangkauan kepentingan pribadi jangka pendek. Hal ini terutama merupakan pendapat Plato, seorang filsuf elitis Yunani.
Dan Winston Churchill pun berujar: ”Democracy is worst possible form of government..” – Demokrasi adalah kemungkinan terburuk dari sebuah pemerintahan. telaah tajam juga diberikan oleh Abul A’la Al Maududi seperti yang dinukil Amien Rais dalam pengantar buku “Khilafah dan Kerajaan”. Bagi Maududi, demokrasi yang sering dianggap sebagai sistem politik paling modern gagal menciptakan keadilan sosio ekonomi dan juga keadilan hukum. Namun di sisi lain Samuel P Huntington, direktur Center for International Affairs (CFIA) Universitas Harvard mengungkapkannya sebagai berikut :
“Democratization is an ongoing process, and one that is becoming increasingly irreversible” 2 (Demokratisasi adalah suatu proses terus-menerus, yang kini semakin tidak bisa dibalikkan lagi.)
memaknai ungkapan dari Huntington di atas, demokrasi dianggap sebagai sebuah kemestian sejarah yang dewasa ini sedang berlangsung dan tak mungkin untuk kembali surut ke belakang. Dunia saat ini sedang menjadikan demokrasi sebagai “grand experiment” untuk menata kehidupan sosial-politiknya (Madjid, 1997; Ma’arif, 1996), tak terkecuali dengan yang terjadi di Indonesia. Tak heran jika Francis Fukuyama – dengan arogan – menegaskan bahwa demokrasi adalah titik akhir perjalanan evolusi ideologi manusia, The End of History
Dari uraian di atas  kita menyadari bahwa demokrasi adalah sebuah system yang hadir akibat terpuruknya sisitem di Yunani, dan akibat perkembangan zaman maka demokrasipun berevolusi berubah sesuai dengan keinginan zaman. Demokrasi akan mudah meluncur ke arah manapun tidak ada patokan jelasa tentang ke arah  mana sebenarnya demokrasi tersebut. Dan Negara-negara baik yang kapitalis, komunis, nasionalis, otoriter, dan sebagainya menganggap mereka adalah Negara paling demokratis.  Amerika Serikat pun yang membangga-banggakan diri sebagai negara paling demokratis di dunia dan pejuang HAM yang hebat ternyata menyimpan borok demokrasi itu sendiri. Paul Findley senator AS lewat bukunya “Mereka Yang Berani Bicara dan Diplomasi Munafik Ala Yahudi”, membongkar dominasi loby Yahudi (AIPAC) dalam tubuh Kongres AS. Tidak seorang pun calon presiden AS yang bisa duduk di kursi kepresidenan tanpa direstui oleh lobi Yahudi tersebut, tegasnya.
Demokrasi mungkin tidak terhindarkan dalam perkembangan peradaban manusia. Tetapi demokrasi juga tidak dapat memberikan kesejahteraan dan keadilan bagi manusia. Jadi untuk apa kita umat Islam memilih demokrasi sebagai sebuah sisitem bagi Negara kita, bukankah juga demokrasi tidak bisa  menggantikan Hukum Alloh. Demokrasi tidak memiliki dasar dalam Islam, dan bertentangan dengan Islam..
 Semua manusia diciptakan untuk patuh dan tunduk pada aturan dan hukum Alloh semata bukan aturan manusia atau aturan siapapun. Dan ketika seorang muslim telah bersaksi bahwa : “Tiada Tuhan Selain Alloh dan mengaku bahwa Rasul Muhammad adalah utusan Alloh” maka ia harus tunduk dan patuh pada aturan-aturan hukum dari Alloh dan Rasul-Nya dan bukan pada aturan selain-Nya
Sesungguhnya, Syariat bagi makhluk adalah hak mutlak Allah semata yang tidak sah Tauhid seseorang kecuali dengan menTauhidkan-Nya dalam Uluhiyah-Nya, Rububiyah-Nya, Mulkiyah-nya dan Asma wa Sifat-Nya, maka barangsiapa yang membuat syariat bagi manusia selain dari syariat Allah, maka sesungguhnya dia telah menjadikan dirinya sebagai tandingan [sekutu] bagi Allah di dalam ketuhanan-Nya dan peribadahan-Nya, dan juga berarti telah menjadikan dan mengangkat dirinya sebagia Tuhan bagi menusia selain Allah, maka dia telah kafir dengan perbuatannya itu. Sifat-sifat yang demikian Allah tegaskan sebagaimana ditunjukan dalam ayat berikut:“Apakah mereka mempunyai sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah” ? [QS. Asy-Syura': 21].
Ajaran-ajaran demokrasi atau dien (agama) demokrasi ini semuanya kontradiksi dengan dien kaum muslimin, Al Islam. Sebagian manusia merasa aneh saat kami menyebut demokrasi sebagai dien (agama) padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan :
“Tidaklah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja (dien al malik)…” (QS. Yusuf [12] : 76)
Undang-undang telah Allah Subhaanahu Wa Ta’ala namakan sebagai dien (agama/jalan hidup yang ditempuh), sedangkan demokrasi itu memilliki undang-undang selain Islam. Jadi yang namanya dien (agama) kafir itu bukan hanya Nashrani, Yahudi, Hindu, Budha, Konghucu, Shinto, dan Majusi saja…, akan tetapi Demokrasi adalah dien, Nasionalisme adalah dien, Kapitalisme adalah dien, Sekulerisme adalah dien.Islam adalah dien kaum muslimin, sedangkan Demokrasi adalah dien kaum musyrikin.
Ikutilah dengan ikhlas jalan yang telah ditempuh oleh Nabi Besar Muhammad SAW dan janganlah merubah jalan itu. Patuhlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan jangan sekali-kali berbuat durhaka. Bertauhidlah kepada Allah (meng-Esakan Allah), dan jangan menyekutukan-Nya. Allah itu Maha Suci dan tidak memiliki sifat-sifat tercela atau kekurangan. Janganlah ragu-ragu terhadap kebenaran Allah. Bersabarlah dan berpegang teguhlah kepada-Nya. Bermohonlah kepada-Nya dan tunggulah dengan sabar

Rabu, 28 April 2010

Ushul As-Sunnah

Pokok-Pokok Sunnah Adalah :
1. Berpegang teguh pada jalan hidup para sahabat Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
2. Berqudwah (mengambil teladan ) pada mereka.
3. Meninggalkan Bid’ah-Bid’ah.
4. Setiap Bid’ah adalah kesesatan.
5. Meninggalkan permusuhan dan brduduk-duduk dngan ahlil ahwa’ (pengekor hawa nafsu).
6. Meninggalkan perdebatan dan adu argumentasi serta pertikaian dalam urusan Agama.
7. As-Sunnah menurut kami adalah atsar-atsar Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
8. As-Sunnah adalah penjelasan Al-Qur’an yakni petunjuk-petunjuk dalam Al-Qur’an.
9. Di dalam As-Sunnah tidak ada Qiyas.
10. As-Sunnah tidak boleh dibuat permisalan dan tidak dapat diukur denan akal dan hawa nafsu, akan tetapi dengan Ittiba’ dan meninggalkan hawa nafsu.
11. Dan termasuk dari Sunnah yang tidak boleh ditinggalkan dan bila ditinggalkan satu perkara saja darinya maka ia tidak menerima dan tidak beriman dengannya (Sunnah) dan tidak termasuk dari ahlinya.
12. Beriman terhadap taqdir baik dan buruknya dan mmbenarkan hadits-hadits tentangnya dan mengimaninya, dan tidak boleh mengatakan : “Kenapa dan Bagaimana”, karna hal itu tiada lain hanyalah membenarkan dan mengimaninya. barangsiapa yang tidak mengerti penjelasan hadits (tentang taqdir) dan akalnya tidak sampai, maka hal itu telah cukup dan kokoh baginya. maka wajib baginya mengimaninya dan berserah diri. seperti hadits (as-Shaadiqul mashduua), dan hadits semisalnya tentang taqdir, juga semua hadits-hadits tentang melihat Allah, meskipun jarang terdengar dan banyak yang tidak suka mendengarnya, maka wajib mengimaninya dan tidak boleh menolak darinya satu hurufpun, dan hadits-hadits selainnya yang ma’tsur dari orang-orang yang tsiqah (terpercaya). tidak boleh mendebat seseorang tentangnya an mempelajari ilmu berdebat, karena berdebat tntang : “Taqdir, Ru’yah, Al-Qur’an dan yang selainnya dari (perinsip-perinsip) As-Sunnah adalah makruh dan terlarang. dan tidak termasuk Ahli Sunnah” meskipun perkataannya sesuai dengan As-Sunnah hingga ia meninggalkan perdebatan dan berserah diri serta beriman terhadap atsar-atsar.
13. Al-Qur’an adalah kalam Allah dan bukan makhluk, dan tidak boleh melemah untuk mengatakan Al-Qur’an bukanlah makhluk, karena sesungguhnya kalam Allah itu tidak terpisah dari-Nya dan tiada satu bagianpun dari-Nya yang makhluk, dan hindarilah berdebat dengan orang yang membuat perkara baru tentangnya. orang yang mengatakan lafadzku dengan Al-Qur’An adalah makhluk dan selainnya serta orang yang tawaqqkuf tentangnya, yang mengatakan “aku tidak tahu makhluk atau bukan makhluk akan tetapi dia adalah kalam Allah” karena orang ini adalah ahli bid’ah seperti orang yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk. sesungguhnya Al-Qur’an adalah kalam Allah dan bukan makhluk.
14. Beriman terhadap Ru’yah (melihat Allah) pada hari kiamat sebagaimana hadits-hadits shahih yang diriwayatkan dari Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
15. Dan Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah melihat Rabbnya. telah ada atsar yang shahih dari Rasulullah yang diriwayatkan dari Qatadah dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, dan diriwayatkan oleh Al-Hakkam bin Abban dan Ikrimah dari Ibnu Abbas, serta diriwayatkan oleh Ali bin Zaid dari Yusuf bin Mihran dari Ibnu Abbas. dan hadits tersebut menurut kami hendaknya ifahami sesuai dengan makna zhahirnya, sebagaimana hal itu datang dari Nabi. sebab memperdebatkan tentangnya adalah bid’ah. akan tetapi kami mengimaninya sesuai dengan makna zhahirnya sebagaimana hal tersebut datang (kepada kami) dan kami tidak memperdebatkan tentangnya dengan siapapun.
16. Beriman kepada Al-Mizan (timbangan) pada hari kiamat, sebagaimana (yang di jelaskan) dalam hadits : “Seorang hamba akan ditimbang pada hari kiamat, maka ia tidak bisa mengimbangi berat sayap seekor nyamuk” . dan juga amalan-amalan para hamba akan ditimbang sebagaimana (yang dijelaskan) dalam Atsar, mengimani membenarkannya, dan berpaling dari orang yang menolaknya serta meninggalkan perdebatan dengannya.
17. Allah akan mengajak bicara hamba-hamba-Nya pada hari kiamat tanpa ada penerjemah antara mereka dengan-Nya dan kita wajib mengimani dan membenarkannya.
18. Beriman dengan Telaga, dan bahwa Rasulullah memiliki telaga pada hari kiamat yang akan didatangi oleh umatnya, dimana luasnya sepanjang perjalanan sebulan dan bejana-bejananya sebanyak bintang-bintang dilangit. menurut riwayat-riwayat yang shahih dari beberapa jalan.
19. Beriman kepada Adzab kubur.
20. Dan bahwa ummat ini akan diuji dan ditanya didalam kuburnya tentang Iman, Islam dan siapa Rabbnya, siapa Nabinya, dan akan didatangi oleh malaikat Munkar dan Nakir sesuai dengan kehendak dan keinginan Allah. dan kita mengimani dan membenarkannya.
21. Beriman terhadap syafa’at Nabi dan suatu kaum yang yang dikeluarkan dari api neraka setelah terbakar dan menjadi arang, kemudian mereka diperintahkan menuju sungai didepan Surga sesuai dengan kehendak Allah, sebagaimana (yang dijelaskan) dalam Atsar. dan kita mengimani dan membenarkannya.
22. Beriman bahwa Al-Masih ad-Dajjal akan keluar, tertulis diantara kedua matanya “Kaafir” dan kita beriman terhadap hadits-hadits tentangnya dan bahwa hal itu pasti akan terjadi.
23. Dan bahwa Isa bin Maryam ‘Alaihissalam akan turun lalu membunuhnya di pintu Lud.
24. Iman adalah perkataan dan perbuatan, dapat bertambah dan berkurang, sebagaimana (yang dijelaskan) dalam hadits : “Orang yang paling sempurna Imannya adalah orang yang paling baik Akhlaknya”.
25. Barangsiapa yang meninggalkan Shalat maka ia telah kafir. dan tidak ada satu amalan apapun yang apabila ditinggalkan maka akan menyebabkan kekafiran melainkan shalat. maka barangsiapa yang meninggalkan maka ia telah kafir dan Allah telah menghalalkannya untuk dibunuh.
26. Sebaik-baiknya orang dari Ummat ini setelah Nabi Muhammad adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, kemudian Umar bin Khaththab. kemudian Utsman bin Affan, Kami mendahulukan mereka bertiga sebagaimana Para Sahabat Rasulullah mendahulukan mereka, mereka tidak berselisih pendapat tentang hal ini. kemudian setelah mereka adalah lima orang Ashaabu Asyuura’ (yaitu Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf dan Sa’ad bin Abi Waqqash) mereka semua patut untuk menjadi khalifah, dan semuanya adalah Imam (pemimpin), kami berpendapat demikian berdasarkan hadits Ibnu Umar : “Kami menyebut secara berurutan tatkala Rasulullah masih hidup dan para sahabat masih berkumpul, yaitu : Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman, kemudian kami diam … Kmudian setelah Ashaabu Asyuura’ adalah ahli badar dari kaum muhajirin, kemudian ahli badar dari kaum Anshar dari para Sahabat Rasulullah sesuai dengan kadar hijrah dan keterdahuluannya (masuk Islam).
27. Kemudian sebaik-baik manusia setelah para Sahabat adalah generasi yang Rasulullah diutus padanya. setiap orang yang bersahabat dengannya baik setahun, sebulan, sehari, sesaat atau pernah melihatnya, maka ia trmasuk dari para sahabatnya, ia memiliki keutamaan bersahabat sesuai dengan waktu persahabatannya. karena keterdahuluannya bersama beliau, telah mendengar darinya, dan melihat kepadanya. maka serendah-rendah derajat mereka masih lebih utama dibanding dengan generasi yang tidak pernah melihatnya walaupun ia berjumpa Allah dengan membawa seluruh amal (kebaikan). mereka orang-orang yang pernah ersahabat dngan Nabi, melihat dan mendengar adarinya, serta orang yang melihat dngan mata kepalanya dan beriman kepadanya walaupun sesaat masih lebih utama, dikarenakan persahabatannya dengan beliau dari pada para tabi’in walaupun mereka mengamalkan segala amal kebaikan.
28. Mendengar dan taan kepada para Imam dan pemimpin kaum Mu’minin yang baik maupun yang buruk, dan kepada khalifah yang manusia brsatu padanya dan meridhainya. dan juga kpada orang yang telah mengalahkan manusia dengan pedang (kekuatan) hingga ia menjadi khalifah dan di sebut sebagai Amirul Mukminin.
29. Perang dilakukan bersama para pemimpin yang baik maupun yang buruk, terus berlangsung sampai hari kiamat, dan tidak boleh ditinggalkan.
30. Pembagian Fa’i (harta rampasan perang dari kaum kafir tanpa terjadi peprangan) dan menegakkan hukuman-hukuman harus diserahkan kepada para Imam. tidak boleh bagi siapapun untuk mencla dan menyelisihinya.
31. Membayar Zakat/Sedekah kepada mereka (para Imam) boleh dan terlaksana. barangsiapa membayarkannya kepada mereka maka hal itu telah cukup/sah baginya, baik pemimpin itu baik maupun buruk.
32. Melaksanakan Shalat jum’at dibelakang mereka dan dibelakang orang yang menjadikan mereka sebagai pemimpin hukumnya boleh dan sempurna dua rakaat. barangsiapa yang mengulangi shalatnya maka ia adalah seorang mubtadi’ yang meninggalkan atsar-atsar dan menyelisihi Sunnah, dan tidak ada baginya sedikitpun keutamaan shalat jum’at, apabila ia tidak berpendapat bolehnya shalat dibelakang para Imam, baik pemimpin itu baik maupun buruk karena Sunnah memerintahkan agar melaksanakan shalat bersama mereka dua rakaat dan

Kamis, 15 April 2010

IJTIMA’ ULAMA DAN TOKOH ISLAM

JAKARTA (Arrahmah.com) - Kamis, 26 Maret 2009, Komite Penegakan Syariat Islam (KPSI) menyelenggarakan acara IJTIMA’ ULAMA DAN TOKOH ISLAM membahas tema “Hukum Demokrasi dan Golput Dalam Pandangan Islam”.

Acara tersebut dilaksanakan mulai jam 9.00 pagi sampai jam 15.00 sore, bertempat di Ruang Pendidikan, Masjid Pondok Indah, Jakarta Selatan.

Acara dihadiri oleh Ust. Abu Bakar Ba'asyir, Ust. Abu Jibriel, Ust. Mush’ab Abdul Ghaffar (editor Kafayeh Media, pengganti Ust. Aman Abdurrahman dalam acara tersebut), dan Ust. Labib (pengganti Ust. Ismail Yusanto). Mereka diundang dalam acara tersebut sebagai pemakalah.

Sebagai penanggap, hadir beberapa tokoh Islam yaitu: Dr. Jose Rizal Yurnalis Sp Oth, Ust. Fauzan Al Anshary, Achmad Michdan SH MH, Ust. M. Al Khaththath, dan Ust. Zulkifli M. Ali Lc.

Beberapa tokoh Islam lainnya juga diundang dalam acara tersebut namun berhalangan hadir, yaitu: KH Hasyim Muzadi, Ust. Aman Abdurrahman (ada pengganti), Ust. Syuhada Bahri, Ust. Ismail Yusanto (ada pengganti), dan Ust. Din Syamsudin.

Sementara dari penanggap, tokoh-tokoh yang berhalangan hadir adalah: Bpk Amin Rais, Ust. Hartono Ahmad Jaiz, Ust. Arifin Ilham, Ust. Ahmad Dedat, dan Ust. Abu Rusdan.

Ustadz Jel Fathullah bertindak sebagai moderator dalam acara tersebut.

Ijtima tersebut akhirnya menghasilkan keputusan sebagai berikut:

1. Sistem DEMOKRASI adalah SYIRIK AKBAR dan KUFUR AKBAR, hukumnya HARAM

2. GOLPUT dalam sistem demokrasi hukumnya WAJIB

3. Sistem DEMOKRASI akan menjerumuskan rakyat kepada KEMUSYRIKAN

4. Harus ada pencerahan / sosialisasi tentang konsep SYARI’AT ISLAM terhadap pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia

5. Agar umat Islam lintas lembaga /ormas dan tokoh agama islam bersatu untuk menegakkan SYARI’AT ISLAM dan menghapus sistem jahiliyah

6. Pada seluruh ulama’ dan muballigh diamanahkan untuk menyampaikan pentingnya penegakan syari’at Islam dengan mensosialisasikan hasil ijtima’ ulama’ dan tokoh Islam yang diadakan oleh KPSI pusat

7. Menolak pandangan sebagian umat bahwa tidak ikut pemilu (GOLPUT) itu hukumnya haram

Keputusan tersebut ditandatangani oleh:

1. Ust. Abu Bakar Ba’asyir
2. Ust. Abu M. Jibriel Abdul Rahman
3. Ust. Mush’ab Abdul Ghaffar
4. Ust. Fauzan Al Anshary
5. Achmad Michdan SH MH
6. Dr. Jose Rizal Yurnalis Sp Oth
7. Ust. Zulkifli M. Ali Lc
8. Ust. M. Al Khaththath
9. Ust. Jel Fathullah Lc

Jumat, 09 April 2010

Hakekat Dienul Islam

ust. aman abdurrahaman

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, Maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 112)
Dan Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh…” (Q.S. Luqman [31]: 22)
Dan Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“…Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus….” (Q.S. Al Baqarah [2]: 256)
Dan Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman
“Sesungguhnya Telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan Dia; ketika mereka Berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan Telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja…” (Q.S. Al Mumtahanah [60]: 4)
Dan Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan sungguhnya kami Telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu…” (Q.S. An Nahl [16]: 36)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
“Sesungguhnya agama (yang diridlai) disisi Allah hanyalah Islam…” (Q.S. Ali Imran [3]: 19)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
Barangsiapa mencari agama selain agama islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (Q.S. Ali Imran [3]: 85)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
“…Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. dia Telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus…” (Q.S. Yusuf  [12]: 40)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
“…Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja…”(Q.S. Yusuf [12]: 76)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika me-nyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” (Q.S. Al An’am [6]: 121)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Saya diperintahkan memerangi manusia sampai mereka bersaksi akan Laa ilaaha illallah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Terus bila mereka melakukan hal itu maka mereka telah menjaga darah dan hartanya dari (tindakan) aku kecuali dengan hak Al Islam.” (Al Bukhari dan Muslim)
Beliau Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dan dia kufur kepada apa yang di ibadahi  selain Allah, maka haramlah darah dan hartanya, sedangkan perhitungannya atas Allah.” (HR. Muslim)
Beliau Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Hari kiamat tidak akan terjadi sehingga kelompok dari umatku bergabung dengan orang-orang musyrik, dan hingga jumlah besar dari umatku beribadah kepada berhala-berhala.” (HR Al Barqany dalam shahihnya)
Dan dalam riwayat dari Abu Dawud: “Hingga kabilah-kabilah dari umatku bergabung dengan orang-orang musyrik.”
Rasullullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Ya Allah jangan jadikan kuburanku sebagai berhala yang di ibadati.”
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Islam adalah mentauhidkan Allah, beribadah kepadanya saja tidak ada sekutu bagi-Nya, iman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mengikuti beliau dalam apa yang dibawanya, jika seorang hamba tidak mendatangkan hal ini maka dia bukan muslim. Bila dia bukan kafir mu’anid maka dia kafir jahil. Status minimal thabaqah ini adalah mereka itu orang-orang kafir jahil yang tidak mu’anid dan ketidak ‘inad (pembangkangan) mereka tidak mengeluarkan mereka dari status sebagai orang-orang kafir.” [Thariqul Hijratain Wa Babus Sa'adatain: 452]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah: “Islam adalah (orang) berserah diri kepada Allah tidak kepada yang lainnya, dia beribadah kepada Allah tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya, dia tawakkal hanya kepada-Nya, mengharap-Nya, dan takut kepada-Nya saja, dia mencintai Allah dengan kecintaan yang sempurna yang mana dia tidak mencintai makhluk-mahkluk seperti kecintaan dia kepada Allah… siapa yang menolak beribadah kepada Allah maka dia bukan muslim, dan siapa yang beribadah kepada yang lainnya disamping dia beribadah kepada Allah maka dia bukan muslim.” [Kitab An Nubuwwat: 127]
Dan beliau rahimahullah berkata juga sebagaimana yang dinukil oleh Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah: Dalam Islam itu harus istislam (berserah diri) kepada Allah saja dan meninggalkan istislam kepada selain-Nya. Dan ini adalah hakikat ucapan Laa ilaaha illallah. Siapa yang istislam kepada Allah dan kepada yang lain, maka dia itu musyrik sedangkan Allah tidak mengampuni penyekutuan terhadap-Nya. Dan siapa yang tidak istislam kepada Allah maka dia itu mustakbir (orang yang menyombongkan diri) dari ibadah kepada-Nya, padahal Dia Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman: “Sesungguhnya orang yang istikbar dari ibadah kepadaku maka mereka akan masuk neraka jahannam dalam keadaan hina” [Al Qaul Al Fashl An Nafis: 160]
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad rahimahullah berkata: “Para ulama telah ijma, salaf maupun khalaf dari kalangan para sahabat, tabi’in, para imam dan seluruh ahlus sunnah bahwa seseorang tidak menjadi muslim kecuali dengan mengosongkan diri dari Syirik Akbar, bara’ (berlepas diri) darinya dan dari para pelakunya, membencinya, memusuhinya sesuai kemampuan dan kekuatan, serta memurnikan amalan-amalan seluruhnya kepada Allah.” [Ad Durar As Saniyyah 11/545]
Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata: “Islam adalah komitmen (iltizam) akan tauhid, berlepas diri dari syrik, bersaksi akan kerasulan beliau shalallahu ‘alaihi wasallam dan mendatangkan rukun Islam yang empat.” [Mishbah Adh Dhalam: 328]
Al Imam Abu Muhammad Ibnu Hazm rahimahullah berkata: “Dan seluruh tokoh-tokoh Islam menggatakan: “Setiap orang yang menyakini dengan hatinya dengan keyakinan yang tidak  mengandung keraguan di dalamnya dan dia menyatakan dengan lisannya Laa ilaaha illallah wa anna Muhammadan Rasulullah dan bahwa semua yang beliau bawa itu benar serta dia berlepas diri dari setiap dien selain dien Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam maka sesungguhnya dia itu muslim mukmin, tidak ada atas dia selain hal itu.” [Al Fashl 4/35]
Syaikh Abdullah Ibnu Abdirrahman Aba Buthain rahimahullah berkata: “Sesungguhnya orang awam yang tidak mengetahui dalil-dalil, bila dia meyakini keEsaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan risalah Muhammad  shalallahu ‘alaihi wasallam, dia beriman akan kebangkitan setelah mati, (iman) kepada surga dan neraka, dan (meyakini) bahwa hal-hal syirik yang dilakukan di Masyahid (kuburan-kuburan yang dikeramatkan) itu adalah bathil dan sesat, bila dia meyakini hal itu dengan keyakinan yang pasti lagi tidak ada keraguan di dalamnya, maka dia itu muslim meskipun tidak mengutarakan dengan dalil.”  [Ad Durar As Saniyyah 10/409]
Al Imam Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata: “Adapun tata cara kufur kepada thaghut adalah engkau meyakini bathilnya ibadah kepada selain Allah, engkau meninggalkannya, engkau membencinya, engkau mengkafirkan para pelakunya dan engkau memusuhi mereka.” [Al Jami' Al Farid: 308]
Seluruh macam ibadah harus ditujukan seluruhnya kepada Allah. Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan Aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. (Q.S. Al An’am [6]: 162-163)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memvonis kafir orang yang memalingkan salah satu macam ibadah kepada selain-Nya. Dia ta’ala berfirman:
“Dan barangsiapa menyembah ilah yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, Maka Sesungguhnya perhitungannya di sisi Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada bakal beruntung.” (Q.S. Al Mukminun [23]:117)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
“…Dan dia mengada-adakan sekutu-sekutu bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah: “Bersenang-senanglah dengan kekafiranmu itu sementara waktu; Sesungguhnya kamu termasuk penghuni neraka”. (Q.S. Az Zumar [39]: 8)
Taat dalam tasyri’ yaitu dalam penghalalan dan pengharaman atau penyandaran wewenang pembuatan hukum dan undang-undang adalah termasuk ibadah. Maka siapa memalingkannya kepada selain Allah maka dia musyrik, siapa saja orangnya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (Q.S. At Taubah [9]: 31)
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Dan begitu juga Al Bukhturi berkata: “Sesungguhnya mereka (orang-orang Nashrani) tidaklah shalat kepada mereka (ulama dan para rahib), dan seandainya mereka itu memerintahkannya untuk menyembah mereka tentu mereka tidak bakal mentaatinya, akan tetapi mereka itu memerintahkannya, terus mereka menjadikan apa yang Allah halalkan sebagai keharaman dan yang haram mereka jadikan halal, kemudian mereka itu mentaatinya, sehinggah itulah bentuk rubbubiyah (ketuhanan) tersebut.” [Majmu Al Fatawa 7/67-68]
Al ‘Alamah Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah berkata dalam rangka menjelaskan ayat 121 surat Al An’am: “Ia adalah fatwa dari langit (samawiyyah) dari Sang Pencipta Jalla wa ‘Ala yang mana di dalamnya Dia menegaskan bahwa orang yang mengikuti hukum syaitan yang menyelisihi hukum Ar Rahman adalah orang musyrik terhadap Allah.”
Dan beliau rahimahullah berkata juga: “Maka Rabb langit dan bumi langsung menangani fatwa dengan Dzat-Nya sendiri, kemudian dia menurunkannya berupa Al-Qur’an yang selalu dibaca dalam surat Al An’am seraya dengannya Dia memberitahu makhluk-Nya bahwa setiap orang yang mengikuti aturan, hukum dan undang-undang yang menyelisihi apa yang telah Allah syari’atkan lewat lisan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka dia itu musyrik terhadap Allah, kafir lagi menjadikan apa yang diikutinya itu sebagai rabb (tuhan).”
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“…Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus…” (Q.S. Yusuf  [12]: 40)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam ayat ini menjelaskan bahwa hukum itu termasuk hak-hak khusus uluhiyyah dan bahwa hukum itu adalah dien. Maka siapa yang mengikuti hukum selain Allah maka dia itu telah mengikuti dien selain Islam, sedangkan siapa yang mencari selain Islam sebagai dien, maka tidak akan diterima hal itu darinya dan di akhirat kelak dia termasuk orang-orang yang rugi. Dan siapa yang ridla dengan selain hukum Allah berarti dia telah rela kekafiran sebagai diennya. Siapa yang memalingkan hukum (hak membuat hukum) kepada selain Allah maka dia musyrik. Maka di ketahuilah bahwa demokrasi itu adalah Syirik dan para pendukungnya adalah antara orang-orang musyrik dan pra arbab musyarri’un (tuhan-tuhan pembuat hukum).
Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata: “Bila amalan-amalanmu seluruhnya untuk Allah maka kamu adalah muwahhid, dan bila di antara amalan itu ada penyekutuan untuk makhluk maka kamu adalah musyrik.” [Ad Durar As Saniyyah: 1/160]
Al Imam Su’ud Ibnu ‘Abdil Aziz Ibnu Muhammad Ibnu Su’ud rahimahullah berkata: “Siapa yang memalingkan sebagian dari (ibadah-ibadah) itu kepada selain Allah, maka dia itu musyrik, sama saja dia itu ahli ibadah atau orang fasiq dan sama saja tujuannya itu baik atau buruk.” [Ad Durar As Saniyyah: 9/270]
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata: “Sesungguhnya orang yang melakukan Syirik itu telah meninggalkan tauhid, karena sesungguhnya keduanya (syirik dan tauhid) itu adalah dua hal yang kontradiksi yang tidak bisa bersatu, sehingga kapan saja syirik ada maka tauhid hilang.” [Syarah Ashli Dien Al Islam dalam Al-Jami Al Farid: 380]
Beliau berkata juga: “Siapa yang memalingkan sebagiannya kepada selain Allah maka dia musyrik.” [Ad Durar As Saniyyah: 2/161, cetakan pertama]
Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman rahimahullah berkata: “Sesungguhnya Islam dan Syirik adalah dua hal yang berseberangan yang tidak bisa bersatu kedua-duanya dan tidak bisa hilang kedua-duanya.” [Minhaj At Ta'sis: 12]
Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata: “Sesungguhnya melafalkan syahadat dengan tanpa mengetahui akan maknanya dan tanpa mengamalkan konsekuensinya tidaklah orang mukallaf itu dengannya menjadi muslim, bahkan ia justru menjadi hujjah atas anak Adam, dan siapa bersaksi akan Laa ilaaha illallah dan dia beribadah kepada yang lain disamping dia beribadah kepada Allah maka kesaksiannya tidak berarti baginya meskipun dia shalat, zakat, shaum  dan melakukan hal-hal dari amalan Islam.” [Ad Durar 1/522-523]
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata: “Sesungguhnya orang muslim itu tidak meminta kepada selain Allah selama-lamanya, karena sesungguhnya orang yang memohon dan meminta kebutuhannya kepada mayit atau yang gaib sungguh dia telah meninggalkan Islam, sebab syirik itu menafikan Islam, merobohkannya, dan mengurainya satu ikatan demi satu ikatan, berdasarkan yang telah lalu bahwa Islam itu adalah penyerahan wajah, hati , lisan dan anggota badan kepada Allah saja tidak kepada selain-Nya. Orang muslim itu bukanlah orang yang taqlid kepada nenek moyang dan guru-gurunya yang bodoh serta berjalan di belakang mereka tanpa ada petunjuk dan bashirah.” [Al Qaul Al Fashl An Nafis: 31]
Syaikh Sulaiman Ibnu ‘Abdillah Ibnu Muhammad rahimahullah berkata: “Siapa yang mengucapkan kalimat ini seraya mengetahui maknanya lagi mengamalkan akan tuntutannya berupa penafian Syirik, penetapan Wahdaniyyah (Keesaan) bagi Allah dengan disertai keyakinan yang pasti akan makna yang dikandungnya dan mengamalkannya maka dia itu muslim sebenarnya. Bila dia mengamalkan secara dhahir saja tanpa disertai keyakinan maka dia itu kafir meskipun dia mengucapkannya.” [Taisir Al 'Aziz Al Hamid: 58]
Beliau berkata juga: “Sesungguhnya pengucapan kalimat itu tanpa mengetahui maknanya dan tanpa mengamalkan akan konsekuensinya, berupa komitmen akan tauhid, meninggalkan Syirik dan kufur kepada thaghut, maka sesungguhnya hal itu tidak akan bermanfaat dengan ijma.” [Taisir Al 'Aziz Al Hamid]
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata: Dan adapun perkataan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadist shahih: “Dan dia kufur terhadap segala yang diibadati selain Allah”, ini adalah syarat yang agung yang mana pengucapan Laa ilaaha illallah tidak sah tanpa keberadaannya. Dan bila ini tidak ada maka orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah ini tidak terjaga darah dan hartanya, karena ini adalah makna Laa ilaaha illallah, sehingga pengucapan ini tidak bermanfaat tanpa menghadirkan makna yang ditunjuk olehnya, berupa penanggalan syirik dan pelepasan diri darinya dan dari pelakunya. Bila dia mengingkari peribadatan segala sesuatu yang diibadati selain Allah, berlepas diri darinya dan dia memusuhi orang yang melakukan hal itu, maka dia menjadi muslim yang terjaga darah dan hartanya.” [Ad Durar As Saniyyah: 2/156, cetakan lama]
Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq rahimahullah berkata: “Para ulama telah ijma bahwa orang yang memalingkan satu macam dari dua macam doa kepada selain Allah, maka dia itu musyrik meskipun dia mengucapkan Laa ilaaha illallah, dia shalat, shaum dan mengaku muslim.” [Ibthal At Tandid: 76]
Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata: “Siapa yang beribadah kepada selain Allah, menjadikan tandingan bagi Rabbnya dan dia menyamakan antara-Nya dan yang lainnya dalam hak khusus-Nya, maka pantas dikatakan atasnya bahwa dia itu musyrik yang sesat bukan muslim, meskipun dia itu memakmurkan masjid dan mengumandangkan seruan adzan, karena dia itu tidak komitmen dengannya. Sedangkan sumbangan harta dan berlomba-lomba atas amalan yang nampak bila disertai dengan meninggalkan hakikatnya (yaitu tauhid, pent) tidaklah menunjukan akan Islam.” [Mishbah Adh Dhalam: 17]
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata: “Seandainya kita menyebut satu persatu orang-orang yang telah dikafirkan oleh para ulama padahal mereka itu mengaku Islam dan para ulama telah menfatwakan kemurtaddan dan vonis bunuh baginya, tentulah pembicaraan menjadi panjang, akan tetapi di antara kisah yang terakhir adalah kisah Bani Ubaid, para penguasa Mesir dan jajarannya, mereka itu mengaku sebagai ahlu bait, mereka shalat jama’ah dan Jum’at, mereka telah mengangkat para qadhi dan mufti,  namun para ulama ijma akan kekafiran mereka, kemurtaddannya dan (keharusan) memeranginya, serta negeri mereka adalah negeri harbiy, wajib memerangi mereka meskipun mereka (rakyatnya) dipaksa lagi benci kepada mereka.” [Tarikh Nejed: 346]
Syaikh Abdullatif rahimahullah berkata tentang firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:  “Ya, siapa yang menyerahkan wajahnya kepada Allah sedang dia itu muslim, maka baginya pahala disisi Rabbnya, dan tidak ada rasa takut atas mereka dan mereka tidak bersedih hati…”, Ayat ini adalah sebagai bantahan atas ‘Ubbadul Qubur dan Ash Shalihin yang beristiqhotsah kepada selain Allah lagi menyeru selain-Nya, karena penyerahan wajah kepada Allah dan ihsan dalam beramal itu telah hilang dari mereka dan tidak mereka dapatkan.” [Minhaj At Ta'sis: 70]
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata: “Takutlah kepada Allah, takutlah kepada Allah, wahai saudara-saudaraku pegang teguhlah pokok dien kalian, yang pertama dan paling akhir, pangkalnya dan kepalanya, yaitu kesaksian atas Laa ilaaha illallah, kenalilah maknanya, cintailah orang-orang yang merealisasikannya dan jadikanlah mereka itu sebagai saudara-saudara kalian meskipun mereka itu jauh. Kafirlah kalian kepada para Thaghut, musuhilah mereka, bencilah orang yang mencintai mereka atau yang membela-bela mereka atau tidak mau mengkafirkan mereka atau orang yang berkata: “Tak ada urusan saya dengan mereka.” Sungguh telah dusta orang ini atas nama Allah dan mengada-adakan, justeru Allah telah membebani dia untuk (mengomentari) mereka dan memfardhukan atasnya untuk kufur terhadap mereka dan berlepas diri dari mereka meskipun mereka itu saudara-saudaranya atau anak-anaknya.” [Hadiyyah Thayyibah dalam Majmu'ah At Tauhid]

Ayat Ini hanya untuk Yahudi

Abdul qadir bin abdul aziz

Apakah ayat ini (al-maidah 44) bersifat khusus untuk ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) atau bersifat umum yang juga mencakup kaum muslimin?

Perkataan para sahabat dan tabi’in berbeda-beda dalam masalah ini dan terbagi menjadi dua pendapat. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan ahlul kitab dan orang-orang kafir, (seperti perkataan Al Barroo’ bin ‘Aazib, Hudzaifah ibnul Yaman, Ibnu ‘Abbaas, Abu Mijlaz, Abu Rojaa’ Al ‘Athooridiy, ‘Ikrimah, Qotaadah, Adl Dlohaak, ‘Ubaidulloh bin ‘Abdulloh, Al Hasan Al Bashriy dan yang lainnya). Dan di antara mereka ada yang mengatakan bahwa ayat tersebut wajib bagi kaum muslimin (seperti yang dikatakan oleh Hudzaifah ibnul Yaman, Al Hasan Al Bashriy, Ibrohim An Nakh’iy, dan ‘Aamir Asy Sya’biy). Dan tidak ada yang mengatakan bahwa ayat ini bukan untuk kaum muslimin kecuali Abu Shoolih. Lihatlah perkataan Ibnu Katsiir yang telah kami sampaikan di depan dan perkataan Ath Thobariy dalam tafsirnya VI/252-255.
Dan telah saya jelaskan dalam kata pengantar ketiga bahwa perkataan para sahabat itu jika berbeda-beda tidak dapat dijadikan hujjah. Namun demikian kebenaran pasti berada pada salah satu perkataan mereka yang berbeda-beda tersebut dan kebenaran itu tidak akan keluar dari seluruh perkataan mereka sebagaimana yang telah saya jelaskan dalam kata pengantar keempat. Dan untuk mengetahui mana yang benar di antara perkataan mereka maka harus dilakukan tarjiih (memilih mana yang lebih kuat) di antara perkataan yang bermacam-macam tersebut dengan berbagai faktor penguat yang bermacam-macam. Sebagaimana yang telah saya jelaskan dalam kata pengantar kelima. Dan pada kata pengantar ketiga dan kelima telah saya nukil perkataan Imam Maalik rh — tentang perselisihan sahabat — yang berbunyi: “… ada yang salah dan ada yang benar maka hendaknya kamu berijtihad.”
Dan setelah melakukan tarjiih maka kami dapatkan bahwa yang benar dalam permasalahan ini adalah pendapat orang yang mengatakan bahwa ayat ini bersifat umum yang masuk ke dalamnya kaum muslimin. Dan dalilnya adalah:
1.                  Sesungguhnya shiighoh (struktur kalimat) ayat ini berbentuk umum, karena menggunakan “man syarthiyah” (siapa yang berfungsi sebagai syarat).
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ
“Dan barangsiapa tidak memutuskan hukum dengan apa yang diturunkan Alloh…”
Dan telah saya jelaskan pada kata pengantar keenam bahwa:
العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب
“Pelajaran (kesimpulan) itu diambil berdasarkan keumuman lafadh dan bukan berdasarkan sebab yang khusus”.
Berdasarkan ini maka sesungguhnya hukum yang terkandung dalam ayat ini:
فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Maka mereka adalah orang-orang kafir”.
Mencakup dan berlaku kepada setiap:
مَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ
“Orang yang tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Alloh.”
Ibnu Taimiyyah berkata: “Dan lafadh “من ” (siapa) merupakan shiighoh (ungkapan) kalimat yang paling umum, terlebih lagi apabila berfungsi sebagai syarat atau kata tanya. Seperti firman Alloh:
فمن يعمل مثقال ذرة خيرا يره ومن يعمل مثقال ذرة شرا يره
“Barangsiapa beramal baik seberat biji sawi pun pasti dia melihatnya dan barangsiapa beramal buruk seberat biji sawi pun pasti dia melihatnya”.
Dan seperti firmanNya:
أفمن زين له سوء عمله فرآه حسنا
“Apakah orang yang amalan buruknya dijadikan indah lalu dia memandangnya baik?”
(Majmuu’ Fataawaa XV/82 dan ini serupa dengan yang dalam XXIV/346). Dan oleh karena shiighoh (struktur kalimat) nya bersifat umum, maka Ibnul Qoyyim mengatakan tentang ayat ini: “Dan di antara mereka ada yang menafsirkan bahwa ayat tersebut untuk ahlul kitab yaitu pendapat Qotaadah, Adl Dlohaak dan yang lainnya. Dan pendapat ini jauh (kemungkinannya) dan tidak sesuai dengan dhohir lafadhnya oleh karena pendapat ini tidak benar.” (Madaarijul Saalikiin I/365 cet. I Daarul Kutub Al ‘Ilmiyah). Begitu pula Al Qoosimiy mengatakan dalam tafsirnya: “Dan demikian pula yang diriwayatkan Abu Dawud dari Ibnu ‘Abbaas bahwasanya ayat tersebut mengenai orang-orang Yahudi — khususnya Bani Quroidloh dan Bani Nadliir — namun tidak berarti ayat ini tidak mencakup selain mereka, karena pelajaran (kesimpulan) itu diambil berdasarkan keumuman lafadh, bukan berdasarkan sebab yang khusus. Dan kata “من” (siapa) yang digunakan sebagai “syarath” maka bersifat umum.” (Mahaasinut Ta’wiil, karangan Al Qoosimiy VI/215, cet Daarul Fikri 1398 H). Dan ahli tafsir lainnya juga mengatakan hal yang serupa, seperti Abu Hayyaan Al Andalusiy di dalam Al Bahrul Muhiith III/492).
2.                  Dan di antara yang memperkuat bahwa ayat tersebut bersifat umum yang mencakup kaum muslimin, adalah: bahwasanya Rosululloh SAW lah yang menjadi mukhoothob (lawan bicara/orang kedua) dalam ayat tersebut, sebagaimana yang ditunjukkan firman Alloh Ta’aalaa yang berbunyi:
يَاأَيُّهَا الرَّسُولُ لاَيَحْزُنكَ الَّذِينَ يسارعون في الكفر
“Wahai Rosul, janganlah orang-orang yang bergegas dalam kekafiran itu membikin kamu sedih”. (ayat 41).
Dan firman Alloh Ta’aalaa:
فَإِن جَآءُوكَ فَاحْكُم بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ
“Jika mereka datang kepadamu maka putuskanlah perkara mereka atau berpalinglah dari mereka.” (ayat 42).
Dan firman Alloh Ta’aalaa yang berbunyi:
فَاحْكُم بَيْنَهُمْ بِمَآأَنزَلَ اللهُ وَلاَتَتَّبِعْ أَهْوَآءَهُمْ
“Maka putuskanlah perkara mereka berdasarkan apa yang diturunkan Alloh dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu mereka.” (ayat 48).
Ini semuanya khithoobnya ditujukan kepada Rosul kita SAW. Dan pada kenyataannya memang beliaulah yang memutuskan hukum terhadap peristiwa yang menjadi penyebab turunnya ayat-ayat tersebut, yaitu beliau menjatuhkan hukuman rajam kepada 2 orang yang berzina. Dan pada kata pengantar kesepuluh anda telah memahami bahwa khithoob Alloh yang ditujukan kepada Rosul SAW adalah khithoob untuk umatnya kecuali ada dalil yang menunjukkan bahwa ayat tersebut khusus untuk beliau. Padahal di sini tidak ada dalil yang menunjukkan khusus untuk beliau. Bahkan sesungguhnya perubahan dari shiighoh (struktur kalimat) dari bentuk tunggal (mufrod):
يَاأَيُّهَا الرَّسُولُ
“Wahai Rosul…”
Menjadi shiighoh (struktur kalimat) yang berbentuk jamak:
فَلاَ تَخْشَوُا النَّاسَ … وَلاَ تَشْتَرُوا بِئَايَاتِي ثَمَنًا
“Maka janganlah kalian takut kepada manusia…….dan janganlah kalian menukar ayat-ayat Ku dengan harga yang murah.
Hal ini memperkuat bahwa khithoob ini bersifat umum bagi umatnya. Dan pada kata pengantar tersebut saya nukil perkataan Ibnu Taimiyyah yang berbunyi: “Pada asalnya khithoob untuk Nabi yang berupa perintah, larangan dan pembolehan itu berlaku untuk seluruh umatnya, seperti kesamaan umat beliau dengan beliau dalam hukum dan yang lainnya sampai ada dalil yang menunjukkan bahwa khithoob tersebut khusus untuk beliau. Maka hukum yang berlaku untuk beliau berlaku pula untuk umat Islam apabila hukum tersebut tidak dikhususkan untuk beliau. Inilah madzhab (pendapat) salaf dan para fuqohaa’.” (Majmuu’ Fataawaa XV/82).
3.                  Dan di antara yang memperkuat bahwa para penguasa hari ini yang mengaku Islam dan menjalankan hukum dengan selain hukum yang diturunkan Alloh, mereka masuk ke dalam keumuman hukum yang disebutkan dalam ayat tersebut, karena kondisi mereka persis dengan kondisi orang-orang yang menjadi penyebab turunnya ayat-ayat tersebut. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Katsiir: “Ayat-ayat yang mulia ini turun berkenaan dengan orang-orang yang bergegas-gegas menuju kekafiran, yang keluar dari ketaatan kepada Alloh dan RosulNya, yang lebih mengedepankan pikiran dan hawa nafsu mereka dari pada syariat-syariat Alloh ‘Azza wa Jalla — sampai perkataannya — Dan yang benar bahwa ayat-ayat tersebut turun berkenaan dengan 2 orang Yahudi yang berzina, sedangkan mereka telah merubah kitab Alloh yang berada pada mereka yang berupa perintah merajam orang muhshon (yang pernah menikah) yang berzina di antara mereka, lalu mereka rubahnya.” (Tafsiir Ibnu Katsiir II/58). Maka kondisi yang terjadi pada hari ini sama persis dengan kondisi yang menjadi sebab turunnya ayat-ayat tersebut. Dan telah saya terangkan dalam kata pengantar ketujuh bahwa kondisi yang menjadi sebab turunnya ayat itu masuk dalam konteks ayat secara qoth’iy (pasti). Dan As Suyuuthiy menyatakan ijma’ tentang ini dalam Al Itqoon I/28. Oleh karena itu dalam Ahkaamul Qur-aan, Ismail Al Qoodliy setelah menceritakan perselisihan masalah ini mengatakan: “Secara dhohir ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa orang yang melakukan seperti apa yang mereka lakukan, dia membuat sebuah hukum yang menyelisihi hukum Alloh, dan dia menjadikannya sebagai diin (ajaran) yang dijalankan, maka dia mendapatkan apa yang mereka dapatkan yang berupa ancaman yang terdapat dalam ayat tersebut baik dia sebagai seorang hakim (penguasa) atau yang lainnya.” (Dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fat-hul Baariy XIII/120 dan dinukil oleh Al Qoosimiy dalam Mahaasinut Ta’wiil VI/216). Dan apa yang dikatakan oleh Isma’il Al Qoodliy sama persis dengan apa yang dilakukan oleh para penguasa hari ini. Mereka menjalankan hukum buatan yang mereka jadikan sebagai diin (ajaran) yang diberlakukan artinya adalah dijadikan peraturan yang harus dipatuhi sebagaimana yang telah saya jelaskan dalam kata pengantar pertama tentang pengertian diin. Dan tidak ada pengaruhnya dalam hal ini apakah para penguasa tersebut yang membuat hukum buatan tersebut atau mereka mewarisinya dari pendahulu mereka. Karena orang-orang Yahudi yang menjadi penyebab turunnya ayat-ayat tersebut bukanlah yang membuat ketentuan hukum yang menyelisihi hukum Alloh tersebut, akan tetapi mereka mewarisinya dari para pendahulu mereka. Maka kondisinya juga sama dengan kondisi yang menjadi sebab turunnya ayat, sebagaimana yang ditunjukkan hadits-hadits yang menerangkan tentang sebab turunnya ayat tersebut khususnya hadits yang diriwayatkan oleh Ath Thobariy dari Abu Huroiroh tentang sebab turunnya ayat ini. Selain itu sesungguhnya komitmen para penguasa tersebut dengan undang-undang tersebut dalam menentukan hukum dan mereka mewajibkan orang lain untuk mematuhi berlakunya undang-undang tersebut di negara mereka menunjukkan kerelaan mereka terhadap undang-undang tersebut. Sehingga status mereka sama dengan orang yang membuatnya dalam hukum Islam. Karena komitmen dengan kekafiran adalah kekafiran, memerintahkan orang lain untuk melakukan kekafiran adalah kekafiran dan rela dengan kekafiran adalah kekafiran.
ظلمات بعضها فوق بعض
“Berbagai kegelapan yang sebagian di atas sebagian yang lain”.
4.                  Sesungguhnya tidak seorang sahabatpun yang mengatakan bahwa ayat tersebut tidak berlaku untuk kaum muslimin, akan tetapi maksimal sebagian mereka hanya mengatakan mengatakan: Sesungguhnya ayat tersebut turun berkenaan dengan ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani). Dan perkataan seperti ini bukanlah merupakan takhshiish (pengkhususan) atau pembatasan nash yang umum hanya untuk suatu sebab ayat yang khusus tersebut. Dan perkataan sahabat ini hanyalah menjelaskan tentang sebab turunnya ayat sebagaimana yang saya terangkan dalam kata pengantar kedelapan. Dan Ibnu Taimiyyah juga berkata: “Sesungguhnya (meskipun) para sahabat mengatakan: Ayat ini turun berkenaan dengan sesuatu, namun mereka tidak berselisih pendapat bahwa nash dari ayat tersebut mencakup juga hal-hal yang tidak menjadi sebab turunnya ayat selama hal tersebut masih dalam cakupan lafadhnya.” (Majmuu’ Fataawaa XXXV/28-29). Dan tidak sama antara orang yang mengatakan: Ayat tersebut turun berkenaan dengan ahlul kitab, dan antara orang yang mengatakan: Bahwa ayat tersebut tidak berkenaan dengan kaum muslimin. Kata-kata yang terakhir ini tidak ada riwayat dari sahabat, akan tetapi diriwayatkan dari beberapa tabi’in. Dan perkataan ini salah berdasarkan dalil-dalil yang telah saya sampaikan. Dan juga karena perkataan sahabat itu tidak dapat mengkhususkan keumuman lafadh Al Qur’an terlebih lagi jika bertentangan, sebagaimana yang saya terangkan dalam kata pengantar kesebelas. Apalagi perkataan tabi’in, lebih tidak dapat mengkhususkan.
5.                  Dan kalaupun ayat ini dikatakan turun berkenaan dengan orang-orang kafir dari kalangan ahlul kitab, namun sesungguhnya ancaman yang terdapat dalam ayat tersebut berlaku untuk kaum muslimin. Hal itu berdasarkan sabda Rosululloh SAW:
لتتبعن سنن من كان قبلكم شبرا بشبر وذراعا بذراع حتى لو دخلوا جحر ضب تبعتموهم. قالوا: يا رسول الله اليهود والنصارى؟ قال صلى الله عليه وسلم: فمن؟
“Kalian benar-benar akan mengikuti jejak orang-orang sebelum kalian satu jengkal demi satu jengkal dan satu hasta demi satu hasta, sampai hingga mereka masuk ke lobang biawakpun kalian mengikuti mereka. Para sahabat bertanya:”Wahai Rosululloh, apakah mereka itu Yahudi dan Nasrani? Beliau menjawab:”Siapa lagi?” (Hadits ini Muttafaqun ‘Alaih).
Dan inilah yang dimaksud dalam atsar dari Hudzaifah ibnul Yamaan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ath Thobariy dengan sanadnya dari Abul Bukhtariy, ia mengatakan: “Ada seseorang yang bertanya kepada Hudzaifah tentang orang-orang yang dimaksud dalam ayat-ayat:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Dan barangsiapa yang tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Alloh maka mereka adalah orang-orang kafir”.
فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظالمون
“Maka mereka adalah orang-orang dholim”.
فَأُوْلَئِكَ هُمُ الفاسقون
“Maka mereka adalah orang-orang fasiq”.
Orang tersebut bertanya: “Ada yang mengatakan bahwa hal itu mengenai Bani Isroil?” Hudzaifah menjawab: “Saudara kalian yang paling baik adalah Bani Isroil, karena semua yang pahit untuk mereka sedangkan semua yang manis untuk kalian. Sekali-kali tidak, demi Alloh, kalian benar-benar akan menempuh jalan mereka sebagaimana sandal.” (Tafsiir Ath Thobariy VI/253). Demikianlah, selain itu saya telah sebutkan pada kata pengantar kesembilan dalil-dalil atas bolehnya berdalil dengan ayat-ayat yang turun berkenaan dengan orang-orang kafir untuk kaum muslimin selama masih dalam cakupan keumuman lafadh. Di sana saya sebutkan tujuh dalil kemudian saya sebutkan perkataan Ibnu Taimiyyah yang berbunyi: “Sesungguhnya Alloh menceritakan kepada kita cerita-cerita umat-umat yang sebelum kita supaya menjadi pelajaran untuk kita. Lalu kita mengukur kondisi kita dengan kondisi mereka dan kita qiyaskan umat yang belakangan dengan umat yang terdahulu. Sehingga orang-orang mukmin yang belakangan mirip dengan orang mukmin yang terdahulu dan orang kafir dan munafiq yang belakangan mirip dengan orang kafir dan munafiq yang terdahulu.” (Majmuu’ Fataawaa XXVIII/425).
6.                  Dan kalau pun juga dikatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang Yahudi, Alloh berfirman:
يَاأَيُّهَا الرَّسُولُ لاَيَحْزُنكَ الَّذِينَ يسارعون في الكفر — الى — وَمِنَ الَّذِينَ هَادُوا
“Wahai Rosul, janganlah membikin kamu sedih orang-orang yang bergegas-gegas menuju kekafiran — sampai — dari kalangan orang-orang Yahudi”.
Sesungguhnya الَّذِينَ هَادُوا (orang-orang Yahudi) adalah laqob (julukan) sedangkan mafhuum mukhoolafah pada laqob tidak dapat dijadikan hujjah. Artinya apabila ayat-ayat tersebut menetapkan suatu hukum terhadap laqob ini الَّذِينَ هَادُوا (orang-orang Yahudi) maka mafhuum mukhoolafah laqob tidak bisa dijadikan hujjah. Dengan demikian berarti hukum yang khusus untuk orang-orang Yahudi itu tidak mesti tidak berlaku untuk orang selain mereka. Dan hukum tersebut adalah hukum yang disebutkan dalam firmanNya:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Dan barangsiapa tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Alloh maka mereka adalah orang-orang kafir”.
Dan tidak bisanya mafhuum mukhoolafah untuk dijadikan hujjah ini merupakan bantahan terhadap orang yang menganggap hukum ini khusus untuk ahlul kitab. Lihat pembahasan mafhuum mukhoolafah laqob dalam buku Al Ihkaam Fii Ushuulil Ahkaam, karangan Al Aamidiy III/104 dan Irsyaadul Fuhuul karangan Asy Syaukaaniy hal. 166-169.
7.                  Dan kalaupun juga dikatakan bahwa ayat ini mengenai ahlul kitab, maka sesungguhnya seluruh salaf dan jumhuur (mayoritas) fuqohaa’ berpendapat bahwa syariat umat-umat sebelum kita berlaku untuk kita jika diriwayatkan dengan riwayat yang bisa dipercaya dan dalam syariat kita tidak ada yang menyelisihinya. Dan unsur-unsur ini terpenuhi dalam hukum yang terdapat dalam ayat tersebut. Dan masalah ini telah saya bahas pada akhir Pembahasan I’tiqood ketika mengkritik buku Ar Risaalah Al Liimaaniyah yang saya nukil dari Majmuu’ Fataawaa Ibnu Taimiyyah I/258, XIX/7 dan Iqtidloo-u Shiroothil Mustaqiim, karangan Ibnu Taimiyyah hal. 167-169 cet. Al Madaniy.
Maka apabila yang menjadi kewajiban ahlul kitab itu merupakan syariat bagi kita, maka ini termasuk juga yang menunjukkan atas keumuman nash ini.
Wa ba’du, inilah tujuh hal yang semuanya menunjukkan bahwa firman Alloh Ta’aalaa:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Dan barangsiapa yang tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Alloh maka  mereka adalah orang-orang kafir”.
… merupakan nash yang umum yang mencakup juga kaum muslimin. Dan setiap orang yang melakukan hal yang menjadi sebab hukum yang disebutkan dalam ayat tersebut:
لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ
“tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Alloh.”
… maka dia pasti mendapatkan hukum yang terdapat dalam ayat tersebut.
فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Mereka adalah orang-orang kafir”.
Dari situ kita pahami bahwa pendapat yang mengatakan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan ahlul kitab itu adalah berfungsi sebagai penjelasan tentang sebab turunnya ayat dan bukan yang lainnya. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa ayat tersebut tidak berlaku untuk kaum muslimin maka ini secara qoth’iy salah sebagaimana yang telah saya jelaskan.