"Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu merasa kesakitan, maka sesungguhnya mereka pun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (an-Nisa’:104)"

Kamis, 24 Februari 2011

Hati - Hati Terhadap Salafi Palsu


Sesungguhnya Dakwah Ahlussunnah wal Jama’ah yang dikenal dengan ASWAJA yang telah dibawakan oleh pengaku pemegang bendera Salafiyyah yang mengklaim mereka paling benar yang menisbatkan dirinya sebagai seorang Salafi atau Salafiyyun adalah batil dan sesat.
Saat ini ada kalangan yg mengaku salafi (salafi palsu / salafi maz'um / wahabi) padahal kalangan ini sangat benci kepada jihad dan mujahidin.
Penisbatan As-Salafi/Salafy, Al-Atsari, Salafiyyun dan yang semisalnya adalah tidak ada asal usulnya sebab Masyayikh Rujukkan mereka Al-Allamah Fadhilatush Syaikh Prof. DR. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan (Syaikh Ibnu Al-Fauzan) Hafidzhahulloh berkata: ” Salaf adalah Hizbulloh (Golongan Alloh) yang beruntung, adapun penamaan dengan As-Salafi atau Al-Atsari tidak ada asal usulnya, yang wajib adalah seseorang mengkaji dan mencari kebenaran serta mengamalkannya”.
(Lihat Buku ” Beda Salaf denganSalafi harusnya sama kenapa Beda?, dilengkapi Fatwa Ha’iah Kibarul Ulama, Karya: Al-Allamah Fadhilatush Syaikh Muth’ab bin Suryan Al-’Ashimi Hafidzhahulloh Terbitan: Media Islamika Hal. 140-143)
 Yang anehnya Buku ini dibantah oleh Kalian dengan Judul Beda Salaf dengan Hizbi!, apakah ini yang dinamakan Dakwah Salafiyyah saling Membantah).
Yang anehnya mereka ( yang mengaku pengikut salaf ) menjadikan Aqwal Rizal (Pendapat Para Tokoh) sebagai standar Manhaj (Pemahaman)
padahal menurut Manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah sebagaimana yang telah ditegaskan oleh para Ulama Rabbani adalah sumber hukum baik dalam masalah Aqidah maupun yang lainnya adalah bersumber kepada Kitabulloh Al-Qur’an dan As-Sunnah serta Ijma’ Salafush Shalih yakni para Pendahulu Ummat yang Sholeh Seperti Para Shahabat Ridwanulloh ’Ajmain, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in yang mendapat petunjuk itulah yang patut diikuti dan Ijma’ Ummat secara Umum.
Akan tetapi dikalangan pengikut Salafi atau Salafiyyun ini Aqwal Rizal (Pendapat Para Tokoh) di jadikan sebagai standar Manhaj yang dapat mengeluarkan seseorang atau kelompok, Tandzim (Organisasi) Islam, Harakah, Jama’ah dari Ahlussunnah wal Jama’ah padahal Manhaj bukan sebagai standar figuritas dan seharusnya yang patut kita ikuti adalah pedoman Kitabulloh Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai Manhaj SalafushShalih dan Ulama Rabbani bukan menjadikan para tokoh baik Kyai, Syaikh, Ustadz, Da’i, dll sebagai figuritas yang harus di ikuti baik dalam perkataan mereka, perbuatannya, tingkah lakunya, bukankah Rasululloh panutan kita).
Aneh bin ajaib betul mereka yang mengaku pembawa bendera Salafiyyah yang paling benar dan gampang sekali mereka menuduh para Ulama, Du’at dan Mujahidin dengan kata-kata yang tidak enak di dengar seperti gampang sekali mereka menuduh saudara sesama muslim yang tidak sejalan dengan Fikroh (Pemikiran) dirinya dengan kata-kata seperti Sururiyyun, Quthubiyyun, Takfiriyyun, Hijbiyyun, Khawarij, dll (Walaupun hingga saat ini kita takpernah mengetahui secara jelas apa itu perkataan seperti itu yang seharusnya tidak etis untuk dikatakan oleh seorang muslim) atau cacian-cacian lain yang tidakkalah buruknya. Pengakuan mereka sebagai pemegang bendera dakwah Salafiyyah di manapun perlu di ukur secara benar menurut Manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah.
Bukan semata pengakuan atau Tazkiyyah (Rekomendasi) dari Masyayikh mereka saja. Karena penentu kebenaran itu adalah Kitabulloh Al-Qur’an dan As-Sunnah menurut Pemahaman As-Salaf Ash-Shalih (Salafush Shalih), terkadang seharusnya mereka itu harus ta’bayun (Klarifikasi/cek dan ricek) dan Tasabbut (Mencari data akurat) terlebih dahulu sebelum mereka mengatakan seseorang atau Tandzim (Organisasi) Islam, Harakah atau Jama’ah yang di tuduh oleh mereka yang mengaku pengikut salaf.
Renungkanlah dan periksa QS. 17:36, Tafsir dalam ayat ini adalah kita dilarang berkata tanpa ilmu, bahkan hanyadugaan dan khoyal ”. (Tafsir Ibnu Katsir).
Dan periksalah kembali QS.4:94, oleh karena itu kita harusnya diperintakan Ta’bayun dan Tasabbut dalam seluruh keadaan yang akan mengarah terjadinya kesamaran (Isytibah) sampai jelas masalahnya dan tegas kebenaran dan ketepatannya. (Lihat Kitab Taisir Al-Karim Ar-Rahman fii TafsirKalam Al-Mannan, Karya: Al-Allamah Fadhilatush Syaikh Abdurrahman bin Natsir As-Sa’di Rahimahulloh, Hal. 195).
Oleh karena itu wahai kalian yang mengaku pengikut salaf baik Ulama, Du’at dan Jama’ahnya dengarlah kalian seharusnya andabersikap bijak dalam berbicara jangan gampang menuduh tanpa bukti saudara kalian dengan kata-kata yang tidak enak di dengar.
Padahal Masyayikh rujukkan kalian diantara satu dengan yang lainnya tidak ada yang saling menuduh, memojokkan, menghina sebelum mereka Ta’bayun dan Tasabbut terlebih dahulu, apakah ini yang dinamakan Manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah?
Wahai yang gampang sekali menuduh saudara sesama Muslim dengan kata-kata yang tidak enak di dengar, padahal Masyayikh rujukkan kalian berfatwa seharusnya kita walaupun berbeda Tandzim (Organisasi) Islam, Harakah, Jama’ah atau golongan yang seharusnya kita bersikap Ta’awun (yakni bersikap bekerjasama, gotong royong & saling menasehati) antara satu dengan yang lainnya bukan hanya saling menuduh sebelum kalian Ta’bayun dan bersikap Tasabbut, ingatlah wahai kalian yang mengaku pengikut salaf kesalahanfatal kalian adalah gampang sekali menuduh para Mujahidin yang berjuang demi menegakkan dan meninggikan Kalimatulloh dengan tuduhan yang berlebihan.
Rosulullah SAW bersabda, Ya, (akan muncul) para penyeru kepada pintu-pintu neraka Jahannam, Barang siapa mengikuti seruan mereka niscaya akan mereka campakkan kedalam neraka jahannam. Huzaifah bin yaman ra berkata “Wahai Rosulullah terangka...nlah sifat-sifat mereka kepada kami!”
Rosulullah SAW bersabda, “mereka berasal pada kulit yang sama dengan kita dan berbicara dengan bahasa yang sama dengan kita”. (HR. Bukhori no.6557 dan Muslim no. 3434)
Hadits ini memperingatkan kepada umat islam untuk mewaspadai para penyeru isme-isme kufur dan sesat, yang secara lahiriah adalah beragama islam, bahkan menjadi tokoh yang memegang kendali urusan umat islam, namun pola pikir, pola keyakinan dan pola hidupnya menyelisihi Al-Qur’an dan As-sunah. Umat islam yang tidak mempunyai pemahaman islam yg utuh dan lurus sangat mungkin sekali terjebak pada rayuan manis namun beracun para penyeru kepada neraka jahannam tersebut. Bila itu yang terjadi, niscaya kesesatan didunia dan kebinasaan di akhiratlah yang akan dipetik oleh mereka. Na’udzu Billahmin Dzalika.

Selasa, 08 Februari 2011

Mengapa Surah At-Taubah tidak diawali dengan Bismillah


Jika kita mengamati dan membaca ayat2 dari Alquran Alkarim sehingga sampai kepada surah At-taubah, kita akan dapati di awal surah At-taubah itu tiada perkataan basmalah/bismillah…ini amat berbeza sekali dengan surah2 yang lain kerana kesemua surah2 didalam mushaf alquran mengandungi basmalah diawalnya kecuali surah At-taubah ini…kenapa dan mengapa keadaan ini berlaku…setiap sesuatu yang datang daripada Allah mesti ada sebab musababnya…sama2 kita teliti apa jawapan yang sebenarnya yang diulas dari ulamak berkenaan masalah ini… Pendapat di kalangan ulama ahli tafsir tentang sebab-sebab kenapa tidak ada basmalah di awal surah At-taubah, iaitu: Pendapat Pertama mengatakan bahwa telah menjadi kebiasaan orang orang Arab pada zaman dahulu apabila ada di antara mereka perjanjian tertulis maka mereka menuliskan bismillah…akan tetapi jika ingin membatalkan perjanjian tersebut, mereka menuliskannya tanpa membubuhi atau meletakkan basmallah…Ketika turunnya Surah At-taubah yang menandai tidak berlakunya perjanjian antara Rasulullah dan orang musyrikin, Rasulullah s.a.w. mengutus Ali bin Abi Thalib membacakan surah tersebut dengan tanpa menyertakan basmallah di awalnya… Kedua, pendapat yang mengatakan bahawa terdapat kesamaan diantara surah At-taubah dengan surah sebelumnya Al-anfal…maka dikatakan bahwa surat At-taubah merupakan kelanjutan dari surah sebelumnya, sehingga tidak ada basmalah di awal surah tersebut. Pendapat ini berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi… Ketiga, surah At taubah berdekatan dengan surah Al-baqoroh dan mempunyai kesamaan antara keduanya, maka tidak dituliskan basmalah di awal surah… Keempat, pendapat yang mengatakan bahwa ketika dilakukan pembaikan mushaf pada zaman khalifah Ustman r.a, terdapat perbezaan pendapat antara para penulis mushaf, apakah surah At-taubah dan Al-anfal merupakan satu surah atau dua surah yang berbeza? Untuk mengambil jalan tengah dari dua pendapat tersebut, maka ditetapkan bahawa surah At-taubah dan Al-anfal adalah dua surah dengan tanpa menuliskan basmallah di awal surat At-taubah… Kelima, diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas, ketika ditanya oleh Ali bin Abi Thalib kenapa tidak dituliskan basmalah diawal surat Taubah? Beliau menjawab, “bismillahirrahmanirrahim” mempunyai makna keamanan dan perdamaian, dan surah At-taubah turun dalam bayang-bayang pedang ketika berlangsungnya perang Tabuk…dimana tidak ada situasi aman pada saat itu…Basmallah itu sendiri menyiratkan makna rahmat kasih sayang, sedangkan surah At-taubah banyak berisi kecaman dan sanggahan terhadap sikap orang-orang munafiq dan orang kafir, maka tidak ada rahmat bagi mereka… Ada juga riwayat yang menyatakan bahwa malaikat Jibril tidak menyertakan basmalah ketika menurunkan surah at-Taubah… Apa yang pasti, pendapat yang banyak diterima adalah pendapat dari yang kelima tersebut… Wallahu a’lam…

Nasehat Untuk Para Da'i


Mengapa mereka menempel di baju penguasa? Mereka memuja-muji panguasa? Tidak ada lagi nahyu munkar yang mereka tegakkan. Mereka menjadi kelompok atau golongan yang menyanyikan : “Di sini senang, di sana senang, di mana-mana hatiku senang”.

Mereka memasuki semua relung kehidupan. Tidak ada lagi pembatas (hijab) atas diri mereka. Tidak ada lagi kata, ‘la’ (tidak), dan yang ada hanya ‘nikmati dan boleh’. Sehingga, kehidupan mereka bercampur dengan kebathilan.

Semua dalil mereka gunakan. Tujuannya hanya untuk membenarkan apa yang hendak mereka inginkan. Kata ‘ijtihad’ menjadi resep mujarab, dan semuanya mengangguk. Tidak ada yang menyangkal. Semuanya mengamininya. Tanda setuju dengan segala ‘ijtihad’ yang mereka lakukan. Terkadang saking fanatiknya dengan ‘ijtihad’ yang disuguhkan itu, tentu yang berada dalam barisan kumpulan dan golongan itu, yang sudah tersihir dengan kehidupan dunia, tak bakal menerima pendapat dari yang lainnya.

Al-Qur’an dan As-Sunnah tak lagi menjadi ukuran dan pembeda. Barangkali Al-Qur’an dan As-Sunnah menjadi tak lagi penting bagi kehidupan mereka. Karena tuntutan sekarang berbeda. Harus ada rumus dan ijtihad baru yang lebih sesuai dengan kehidupan dan perkembangan zaman. Tidak harus kaku dan fanatik dengan prinsip-prinsip yang bersumber dari wahyu Ilahi. Semua prinsip dapat ditukar dan diganti, sesuai dengan perkembangan zaman. Semua prinsip dalam Al-Qur'an dan As-Sunah menjadi 'mutaghoyyirrot' (dapat berubah).

Rumus baru dalam kehidupan modern sekarang, tak lain, sebuah kepentingan. Prinsip-prinsip dapat diubah dan disesuaikan dengan kepentingan. Bila nilai-nilai yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, bertabrakan dengan kepentingan yang lebih besar, harus dikalahkan nilai-nilai dan prinsip dari Al-Qur’an dan As-Sunnah itu. Tidak perlu takut. Tidak perlu kawatir. Karena yang dikejar adalah sebuah kepentingan yang lebih besar. Kekuasaan. Tidak bisa Al-Qur’an dan As-Sunnah itu dipaksakan. Apalagi dalam sebuah negara yang masyarakatnya majemuk (pluralis), maka harus ada rumus baru, khususnya dalam bermuamalah yang lebih terbuka alias inklusif. Sehingga, golongan diluar Islam dapat menerimanya.

Tidak mungkin menerapkan prinsip sabar. Sabar dalam mengamalkan isi Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena itu, terlalu lama dan panjang. Sedangkan umur ini sangatlah terbatas. Target-target dan capaian dunia harus diwujudkan. Diujung perjalanan ini harus ini harus ada, kisah tentang, ‘the success story’, yang akan menjadi ‘ther corner stone’ bagi generasi berikutnya. Kebanggaan sebagai sebuah maha karya, yang dituntaskan seumurnya.

Karena itu, langkah-langkah ekselarasi yang harus dilakukan, betapa itu terasa menjadi naif dan tidak logis. Semuanya harus berjalan, sesuai dengan skenario. Tidak penting banyak yang tidak setuju. Tetapi semuanya harus berjalan, dan yang penting segala target dan keinginan dapat terwujud. Inilah sebuah kenikmatan yang tanpa batas, saat mereka menikmati pujian dan sanjungan yang tak henti-henti dari para pengikutnya dan orang-orang yang terdekatnya.

Kilauan harta, kekuasaan, jabatan, kekuatan, wibawa, dan sanjungan, serta tabiat mereka yang ingin selalu dekat dengan penguasa itu, ternyata sudah menjadi karakter di awalnya.

Itulah mengapa Islam hari ini tidak memiliki izzah (kemuliaan) dihadapan manusia dan Allah Azza Wa Jalla. Karena para du’atnya diantaranya banyak yang tidak lagi komitment terhadap Allah, Rasul-Nya, dan Kitab-Nya. Mereka menjadi hamba-hamba dunia. Mereka menuhankan dan beribadah kepada yang memberi materi, jabatan, kekuasaan, dan bahkan ada diantara mereka yang menukar Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan harga yang murah. Mereka lupa dan melupakan atas arahan dan perintah-Nya.
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ ۖ فَمِنْهُم مَّنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُم مَّنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ ۚ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ
Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah, dan jauhilah Thagut”, kemudian diantara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah ada pula yang tetap dalam kesesatan”. (QS : An-Nahl : 36)

Karakter seorang du’at, yang digambarkan oleh Al-Qur’an, hanyalah mengajak manusia untuk semata-mata menyembah kepada Allah, dan menjauhkan segala hal yang melampui batas dan dilarang oleh Allah (thogut), dan ini harus menjadi misi kehidupannya.

Tetapi, kenyataannya hari ini, sangatlah berbeda dengan seperti yang diinginkan oleh Allah Ta’ala, yang hakekatnya, ketika mengutus para Rasul, tak lain hanyalah untuk mengajak menyembah kepada Allah Azza Wa Jalla semata, bukan menyekutukan Allah dengan melakukan sesembahan terhadap ‘ilah-ilah’ lainnya. Pembalikan yang sekarang terjadi tak lain, karena mereka sudah kehilangan sikap tsabat (teguh), dan shabar terhadap keyakinan yang mereka miliki.

Shahabat Ali bin Abi Thalib RA, menyatakan sikap shabar itu, seperti pedang yang tidak pernah tumpul, dan seperti cahaya yang tidak pernah redup.

Dengan hilangnya sikap shabar para du’at yang hanya mengejar kehidupan dunia itu, maka mereka menjadi tumpul hati nuraninya, dan wajah mereka tidak lagi memancarkan cahaya iman, karena sudah terbalut dengan hitam pekatnya dunia.
وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ ۗ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
".. Dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam pertempuran. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa". (QS : Al-Baqarah : 177)

Allah Azza Wa Jalla menuntut para du'at untuk tetap bershabar dan membela dan menegakkan agama Allah, dan tidak kemudian menanggalkan keyakinan dan komitmentnya terhadap Al-Qur'an dan As-Sunnah, dan lari dari komitmentnya terhadap Islam, hanya demi kenikmatan dunia. Wallahu’alam.