"Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu merasa kesakitan, maka sesungguhnya mereka pun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (an-Nisa’:104)"

Jumat, 10 Juni 2011

Hukum pembuatan KTP, SIM, Pasport dsb…di negeri Kafir (Thagut)


Surat-surat tersebut tidak termasuk tahakum (berhukum) kepada thaghut dan tidak termasuk setuju atau tawali terhadap hukum thaghut, dan itu termasuk kepada hukum idari (hukum penertiban) yang di Islam sendiri dilakukan dan tidak diingkari, tidak termasuk kepada hukum syar’i. Misal KTP di Republik Indonesia adalah jaminan perlindungan dari pemerintahan kafir RI kepada seluruh rakyatnya, dari segala suku bangsa, agama, termasuk bagi muslim. 

Rasulallah shalallahu’alaihi wassalam pun memanfaatkan Undang-Undang Jahiliyah seperti pada hukum perlindungan dan keamanan, beliau menerima perlindungan dari Abu Thalib. Tetapi bukan berarti Rasulallah shalallahu’alaihi wassalam setuju, taat dan berwala’ kepada hukum dan pemerintahan bangsa Quraisy, tapi ini hanyalah pemanfaatan saja untuk menjauhi mudharat.
Bukan hanya di surat-surat, bahkan di mata uang pun tertera simbol atau gambar thaghut, sama seperti pada mata uang yang digunakan oleh bangsa Quraisy pada zaman Nabi shalallahu’alaihi wassalam (ada gambar Kaisar Romawi).
Misal, jika seseorang tidak memiliki KTP, Surat Nikah, SIM, dsb. maka orang tersebut akan mendapat sanksi hukum dari thaghut. Jadi, daripada seorang Muslim mendapat mudharat semacam itu, lebih baik ia memanfaatkan hukum tersebut untuk kemaslahatannya.
Misal, dalam hal perpajakan yang seorang muslim sulit mengelak dari kedzaliman thaghut ini, jika tidak ditunaikan maka bisa jadi hartanya disita atau terancam, maka daripada memperoleh kedzaliman yang lebih besar dari thaghut, lebih baik dibayarkan dengan niat bahwa ia terpaksa karena didzalimi.

Semua ini tergantung dari niat dalam perbuatan yang sifatnya mubah dan disunnahkan Nabi shalallahu’alaihi wassalam. Tidak berlaku bagi hal-hal yang makruh, haram, kemaksiatan, apalagi kemusyrikan dan kekafiran, seperti orang-orang sesat yang masuk parlemen dengan niat maslahat dakwah, karena ia telah mengikuti, menyetujui dan ikut serta di dalam kemusyrikan dan kekafiran seperti yang telah dijelaskan secara jelas di bagian terdahulu. Allah Ta’ala berfirman;

Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sungguh, Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam. (an Nissa :140)

BANTAHAN UNTUK SAUDARA SALAFY TERKAIT ATSAR IBNU ABBAS.


oleh Ikhwan At Tauhid pada 21 Maret 2011 jam 20:40
                                    
  Assalamu alaikum warohmatullohi wabarokatuh.

Saudara kita dari golongan salafy telah menganggap atsar Ibnu Abbas sebagai satu-satunya pendapat salaf dan para ulama tafsir, bahkan pendapat seluruh firqah najiyah dalam masalah ini. Namun realita berkata lain, karena telah nyata adanya perbedaan pendapat di antara ulama salaf dalam masalah ini. Sebagian di antara mereka membawanya kepada kekufuran akbar tanpa merincinya.

Imam Ibnu Jarir telah meriwayatkan dalam tafsirnya (12061) : menceritakan kepadaku Ya’qub bin Ibrahim ia berkata menceritakan kepadaku Husyaim ia berkata memberitakan kepadaku Abdul Malik bin Abi Sulaiman dari Salamah bin Kuhail dari Alqamah dan Masruq bahwa keduanya bertanya kepada Ibnu Mas’ud tentang uang suap, maka beliau menjawab,Harta haram. Keduanya bertanya,Bagaimana jika oleh penguasa? Beliau menjawab,Itulah kekafiran. Kemudian beliau membaca ayat ini:
Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir,Atsar ini sanadnya shahih sampai Ibnu Mas’ud, para perawinya tsiqah para perawi kutubus sitah. [Tahdzibu Tahdzib VI/240,VI/41-42,III/497-498,II/380].

Abu Ya’la dalam musnadnya (5266) meriwayatkan dari Masruq,Saya duduk di hadapan Abdullah Ibnu Mas’ud, tiba-tiba seorang laki-laki bertanya,Apakah harta haram itu? Beliau menjawab, Uang suap. Laki-laki tersebut bertanya lagi, bagaimana kalau dalam masalah hukum.”Beliau menjawab,  Itu adalah kekufuran. kemudian beliau membaca ayat:
Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir.

Atsar ini juga diriwayatkan oleh Al Baihaqi (X/139), Waki’ dalam Akhbarul Qudhat I/52, dan disebutkan Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Al Mathalibu Al ‘Aliyah II/250, beliau menisbahkannya kepada Al Musaddad. Syaikh Habibur Rahman Al A‘dzami menukil perkataan imam Al Bushairi dalam komentar beliau atas kitab Al Mathalibu Al ‘Aliyah, Diriwayatkan oleh Al Musaddad, Abu Ya’la dan Ath Thabrani secara mauquf dengan sanad yang shahih, juga diriwayatkan oleh Al hakim dan Baihaqi dari sanad ini…

bahwasanya pendapat Ibnu Abbas dalam persoalan ini tidak mungkin dimaksudkan terhadap para penguasa hari ini yang menyingkirkan syariat Islam untuk menjadi hukum yang berlaku atas hamba-hamba Allah dan mereka menggantinya dengan hukum-hukum buatan manusia, mereka mewajibkan rakyat untuk tunduk dan berhukum dengannya. Sesungguhnya maksud dari perkataan beliau kufrun duna kufrin adalah seorang qadhi dan amir yang didorong oleh syahwat dan hawa nafsunya untuk menetapkan hukum di antara manusia dalam satu atau lebih kasus dengan selain hukum Allah, namun dalam hatinya ia masih mengakui bahwa dengan hal itu ia telah berbuat maksiat.

Saudara kita dari golongan salafy telah berpedoman dengan riwayat Ibnu Abbas dalam menafsirkan firman Allah:
Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir. [QS. Al Maidah :44].

Ibnu Abbas mengatakan, Kufrun duna kufrin  atau, Bukan kufur yang kalian maksudkan.ana katakan ada beberapa atsar dari Ibnu Abbas mengenai ayat ini, sebagiannya memvonis kafir secara mutlaq atas orang yang berhukum dengan selain hukum Allah, sementara sebagian atsar lainnya tidak menyebutkan demikian. Karena itu, dalam menafsirkan ayat tersebut ada penjelasan rinci yang sudah terkenal. 

Imam Waki’ meriwayatkan dalam Akhbarul Qudhah I/41,  menceritakan kepada kami Hasan bin Abi Rabi’ al Jurjani ia berkata, telah menceritakan kepada kami Abdu Razaq dari Ma’mar dari Ibnu Thawus dari bapaknya ia berkata,Ibnu Abbas telah ditanya mengenai firman Allah, Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir.
Beliau menjawab,
Cukuplah hal itu menjadikannya kafir.
Sanad atsar ini shahih sampai kepada Ibnu Abbas, para perawinya adalah perawi Ash Shahih selain gurunya Waki’, yaitu Hasan bin Abi Rabi’ al Jurjani, ia adalah Ibnu Ja’d al ‘Abdi. Ibnu Abi hatim mengatakan perihal dirinya,Aku telah mendengar darinya bersama ayahku, ia seorang shaduq.Ibnu Hiban menyebutkannya dalam Ats Tsiqat. (lihat Tahdzibu Tahdzib I/515), dalam At Taqrib I/505 
Dengan sanad imam Waki’ pula imam Ath Thabari (12055) meriwayatkannya, namun dengan lafal, Dengan hal itu ia telah kafir.Ibnu Thawus berkata, Dan bukan seperti orang yang kafir dengan Allah, malaikat dan kitab-kitab-Nya.Riwayat ini secara tegas menerangkan bahwa Ibnu Abbas telah memvonis kafir orang yang berhukum dengan selain hukum Allah tanpa merincinya, sementara tambahan Dan bukan seperti orang yang kafir dengan Allah, malaikat dan kitab-kitab-Nya” bukanlah pendapat Ibnu Abbas, melainkan pendapat Ibnu Thawus.

Memang benar, ada tambahan yang dinisbahkan kepada Ibnu Abbas dalam riwayat yang lain, yaitu riwayat Ibnu Jarir Ath Thabari (12053) menceritakan kepada kami Waki’, telah menceritakan kepada kami Ibnu Waki’ ia berkata telah menceritakan kepada kami ayahku dari Sufyan dari Ma’mar bin Rasyid dari Ibnu Thawus, dari ayahnya dari Ibnu Abbas,

Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir.
Ibnu Abbas berkata,
Dengan hal itu ia telah kafir, dan bukan kafir kepada Allah, Malaikat, kitab-kitab dan rasul-rasul-Nya.”
Sanad atsar ini juga shahih, para perawinya adalah para perawi kutubus sitah selain Hanad dan Ibnu Waki’. Hanad adalah As Sariy al Hafidz al qudwah, para ulama meriwayatkan darinya kecuali imam Bukhari. [Tadzkiratul Hufadz II/507].
Adapun Ibnu Waki’ adalah Sufyan bin Waki’ bin Jarrah, Al Hafidz berkata dalam At Taqrib I/312, Ia seorang shaduq hanya saja ia mengambil hadits yang bukan riwayatnya, maka haditsnya dimasuki oleh hadits yang bukan ia riwayatkan. Ia telah dinasehati, namun ia tidak menerima nasehat tersebut sehingga gugurlah haditsnya.Hanya saja ini tidak membahayakan, karena Hanad telah menguatkannya. Kesimpulannya, tambahan ini dinisbatkan kepada Thawus dalam riwayat Abdu Razaq dan dinisbahkan kepada Ibnu Abbas dalam riwayat Sufyan Ats Tsauri. Akibatnya ada kemungkinan ini bukanlah perkataan Ibnu Abbas, tetapi sekedar selipan dalam riwayat Sufyan. Ini bisa saja terjadi, terlebih Waki’ dalam Akhbarul Qudhat telah meriwayatkan atsar ini tanpa tambahan. Namun demikian hal inipun belum pasti. Boleh jadi, tambahan ini memang ada dan berasal dari Thawus dan Ibnu Abbas sekaligus, dan inilah yang lebih kuat. Wallahu A’lam.