"Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu merasa kesakitan, maka sesungguhnya mereka pun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (an-Nisa’:104)"

Selasa, 21 Juni 2016

Kaum Sekularis di Bulan Ramadhan

Islam datang untuk mengeluarkan manusia dari sempitnya dunia menuju lapangnya dunia dan akhirat. Artinya, seorang muslim yang benar imannya tidak pernah beranggapan apalagi berkeyakinan bahwa dunia merupakan segala-galanya apalagi final.
Sedangkan seorang yang berfaham sekular adalah seorang hamba dunia. Ia sangat berkeyakinan bahwa dunia merupakan tempat final untuk mencapai puncak kesuksesan. Bila ia gagal dalam hidupnya di dunia berarti ia telah gagal total, seolah dirinya telah terjerembab ke dalam jurang neraka dengan penderitaan sejatinya. Sebaliknya, bila ia mencapai keberhasilan di dunia ia menyangka dirinya telah mencapai surga yang kebahagiaannya bersifat hakiki. Ini semua lantaran ia sangka bahwa sesudah dunia tidak ada apa-apa lagi. ”It’s now or never, ” begitulah prinsip hidupnya.
وَقَالُوا مَا هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلَّا الدَّهْرُ وَمَا لَهُمْ بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ
“Dan mereka berkata, “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa”, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja”.(QS Al-Jatsiyah ayat 24)
Seorang yang berlogika seperti di atas mustahil bisa mendapatkan segenap kebaikan dan hikmah Ramadhan. Mengapa? Sebab bulan agung dan berkah ini hanya diperuntukkan bagi orang yang beriman. Sedangkan mereka yang tidak berimansulit untukmerasakan keistimewaannya. Coba lihat bagaimana Nabi menjelaskan dan menggambarkan keagungan bulan Ramadhan dalam berbagai pesan beliau.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ صُفِّدَتْ الشَّيَاطِينُ وَمَرَدَةُ الْجِنِّ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ وَفُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ وَيُنَادِي مُنَادٍ يَا بَاغِيَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنْ النَّارِ وَذَلكَ كُلُّ لَيْلَةٍ
Barsabda Rasulullah saw: “Bila tiba malam pertama bulan Ramadhan para syaithan dibelenggu, maksudnya jin. Dan pintu-2 Neraka ditutup dan tak satupun yang dibuka dan pintu-2 surga dibuka dan tak satupun yang ditutup dan ada penyeru yang menyerukan: ”Wahai para pencari kebaikan, sambutlah(songsonglah) dan wahai para pencari kejahatan, tolaklah(hindarilah).” Dan Allah memiliki perisai dari api neraka. Dan yang demikian terjadi setiap malam.” (HR Tirmidzi)
Coba perhatikan hadits di atas. Ia sarat dengan ungkapan mengenai perkara akhirat dan alam ghaib. Bagaimana mungkin seorang sekularis akan bisa menerima isi hadits di atas? Hanya seorang yang memang benar-benar beriman akan adanya akhirat dan alam ghaib-lah yang bisa menerima dan akhirnya meyakini kandungan hadits di atas. Namun seorang sekularis pastilah akan mentertawakan dan mengingkari kandungan hadits tersebut. Atau paling jauh ia akan memaksakan penafsiran simbolis dan liberal atas kandungannya.
Itulah sebabnya kita masih sering mendengar pendapat yang seolah melecehkan kegagalan ummat Islam untuk bisa berproduktivitas di bulan Ramadhan setara dengan produktivitasnya di bulan-bulan lainnya. Inilah pendapat seorang sekularis. Mereka masih saja memaksakan cara pandang dunia terhadap sebuah momen yang tolok ukur kemuliaannya tidak bisa ditakar dengan cara demikian.
Oleh karenanya Allah ta’aala sebutkan apa sesungguhnya target keberhasilan orang-orang yang berpuasa di bulan Ramadhan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, ” (QS Al-Baqarah ayat 183)
Allah ta’aala inginkan kita mencapai ketaqwaan di bulan Ramadhan. Allah ta’aala tidak menuntut kita agar terpengaruh dengan dunia ini dan terus berlomba meraih kesuksesan dunia di saat pintu-pintu surga sedang dibuka lebar-lebar dan pintu-pintu neraka ditutup rapat-rapat. Alangkah sayangnya, bilamana pada momen begitu besar peluang meraih keberhasilan ukhrowi kemudian manusia masih saja tenggelam dalam perlombaan merebut dunia…!
وَابْتَغِ فِيمَا آَتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآَخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi.” (QS Al-Qoshosh ayat 77)
Semoga Allah ta’aala jauhkan kita dari masuk ke dalam golongan sekularis. Golongan yang bahkan ketika bulan penuh berkah dan rahmat Allah ta’aala datang mereka masih saja tertipu dan terlena dengan dunia. Sehingga mereka tidak berusaha memanfaatkan peluang emas hujan rahmat Allah ta’aala berupa bulan Ramadhan ini untuk menjadikan hidupnya lebih bermakna dan terarah.
Bagi kalangan sekularis bulan Ramadhan pada akhirnya sama saja dengan bulan-bulan lainnya. Celakalah orang yang tidak mendapat ampunan Allah ta’aala di bulan yang agung ini. Wa na’udzubillahi min dzalika.

Para Pemimpin Yang Sebaiknya Ditolak

Di antara Nubuwwah (prediksi Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam) ialah persoalan para pemimpin yang sebaiknya ditolak. Dalam hadits tersebut digambarkan bahwa suatu ketika di masa yang akan datang bakal muncul para pemimpin yang dikenal di tengah masyarakat namun tidak disetujui karena sikap dan perilakunya yang zalim dan fasiq. Kemudian Nabi shollallahu ’alaih wa sallam memberi tahu kita bagaimana sikap yang semestinya ditegakkan bila para pemimpin seperti itu muncul. Untuk lebih jelasnya inilah tex hadits itu secara lengkap:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَتَكُونُ أُمَرَاءُ
فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ
وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا
Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: “Akan muncul pemimpin-pemimpin yang kalian kenal, tetapi kalian tidak menyetujuinya. Orang yang membencinya akan terbebaskan (dari tanggungan dosa). Orang yang tidak menyetujuinya akan selamat. Orang yang rela dan mematuhinya tidak terbebaskan(dari tanggungan dosa).” Mereka bertanya: ”Apakah kami perangi mereka?” Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: ”Tidak, selagi mereka masih sholat.” (HR Muslim 3445)
Dengan jelas Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menyatakan bahwa orang yang membenci para pemimpin yang zalim dan fasiq itu akan terbebaskan dari tanggungan dosa. Orang yang tidak menyetujui mereka akan selamat. Berarti hadits ini menegaskan sikap yang semestinya dimiliki seorang mukmin ketika berhadapan dengan pemimpin yang memiliki penyimpangan akhlak. Berbeda sekali dengan anggapan sebagian orang yang mengatakan bahwa di dalam ajaran Islam bagaimanapun perilaku seorang pemimpin ummat harus tetap mematuhinya dan menganggapnya sebagai ulil amri minkum (pemegang urusan di kalangan orang-orang beriman). Hadits ini jelas membantah anggapan naif tersebut.
Lalu dengan tegas Nabi shollallahu ’alaih wa sallam memperingatkan mereka yang rela dan mematuhi para pemimpin zalim dan fasiq itu. Beliau mengatakan bahwa ”Orang yang rela dan mematuhinya tidak terbebaskan(dari tanggungan dosa).” Di sinilah ajaran Islam memandang bahwa urusan menyerahkan loyalitas dan kepatuhan bukanlah perkara ringan. Sebab tidak saja si pemimpin berdosa karena kezaliman dan kefasikannya. Tetapi rakyat ikut menanggung dosa juga bila mereka tetap rela atas kezaliman dan kefasikan pemimpin tersebut, apalagi kemudian mematuhinya. Sehingga Allah melarang seorang beriman untuk mentaati siapapun dan apapun tanpa ilmu dan kesadaran akan mana yang benar dan mana yang batil.
وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ
وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا
”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS Al-Israa 36)
Namun suatu hal yang memang Nabi shollallahu ’alaih wa sallam juga anjurkan ialah agar ummat jangan berfikiran untuk memeranginya selagi si pemimpin tersebut masih sholat. Menarik untuk diperhatikan ialah pandangan Imam Nawawi mengomentari potongan hadits ini ”Apakah kami perangi mereka?” Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: ”Tidak, selagi mereka masih sholat.” Beliau menulis sebagai berikut:
وَأَمَّا قَوْله : ( أَفَلَا نُقَاتِلهُمْ ؟ قَالَ : لَا ، مَا صَلَّوْا )
فَفِيهِ مَعْنَى مَا سَبَقَ أَنَّهُ لَا يَجُوز الْخُرُوج عَلَى الْخُلَفَاء
بِمُجَرَّدِ الظُّلْم أَوْ الْفِسْق مَا لَمْ يُغَيِّرُوا شَيْئًا مِنْ قَوَاعِد الْإِسْلَام .
Maknanya ialah tidak dibenarkan keluar dari kepemimpinan khilafah hanya semata berdasarkan kezaliman dan kefasiqan selama para pemimpin itu tidak merubah sesauatupun dari kaedah-kaedah Al-Islam.
Ulama salaf ini dengan jelas sekali menggaris-bawahi bahwa selagi pemimpin masih menegakkan secara formal sistem kekhalifahan dan tidak merubah sesuatupun dari kaedah kaedah ajaran Al-Islam, maka tidak dibenarkan bagi seorang mukmin meninggalkan atau keluar dari kepemimpinan tersebut, walaupun akhlaq pemimpinnya zalim dan fasiq.

Saudaraku, permasalahan kita ummat Islam dewasa ini adalah bahwa bukan saja negeri-negeri Islam dipimpin oleh sebagian besar pemimpin yang berkepribadian zalim dan fasiq, tetapi sudah jelas mereka tidak menegakkan sistem kekhalifahan dan bahkan nyata benar bahwa kaedah-kaedah Islam telah banyak yang dirubah, baik oleh sang pemimpin tertinggi maupun oleh kepemimpinan kolektif kolaborasi lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Untuk membuktikan kebenaran sinyalemen di atas tidaklah sulit. Karena dalam realitas keseharian terlalu banyak contoh kasus yang membenarkannya daripada membantahnya. Sungguh benarlah kita dewasa ini sedang menjalani masa fitnah sebagaimana telah disinyalir Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam.
بَادِرُوا فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي
كَافِرًا وَيُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنْ الدُّنْيَا
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bersegeralah beramal sebelum datangnya fitnah seperti sepenggalan malam yang gelap gulita, seorang laki-laki diwaktu pagi masih mukmin dan diwaktu sore telah kafir, dan diwaktu sore masih beriman dan paginya sudah menjadi kafir, ia menjual agamanya demi kesenangan dunia.“(HR Ahmad 8493)
رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا
وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
“Ya Rabb kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir”. (QS Al-Baqarah 250)

Ihsan Tandjung – Senin, 20 Rajab 1435 H / 19 Mei 2014 15:00 WIB

Rabu, 25 Mei 2016

Laa Ilaaha Illallah adalah Sumber Ilmu Al Wala’ Wal Baro’



Maktabah Al-Himmah dari Daulah Islamiyyah merilis brosur dakwah yang berjudul “Ketahuilah Bahwa Laa Ilaaha Ilallah Adalah Al Wala’ Wal Baro'”. Brosur dakwah berbahasa arab tersebut alhamdulillah telah diterjemah ke bahasa Indonesia oleh Shoutussalam. Berikut selengkapnya, dan semoga bermanfaat!
MAKTABAH AL-HIMMAH AD-DAULAH AL-ISLAMIYAH MENGHADIRKAN BROSUR DAKWAH
KETAHUILAH BAHWA LAA ILAaHA ILLALLAH ADALAH AL WALA’ WAL BARO’
Segala puji bagi Allah, Pelindung bagi orang-orang yang beriman. Sholawat dan salam semoga selalu tercurahkan untuk Rasulullah pemimpin orang-orang yang jujur, dan siapa saja yang berjalan di atas manhajnya dalam berlepas diri dari orang-orang kafir. Amma ba’d.
Sesungguhnya Al-Wala’ dan Al-Baro’ adalah dasar yang paling mendasar dalam pondasi Islam, serta pilar dari pilar-pilar yang menopangnya. Maka Islam tidak akan tegak hingga seseorang berwalaa’ (loyal) kepada Allah dan berbarra’ (memusuhi) karena Allah. Berwala’ kepada ahlul Haq dan memusuhi ahlul Bathil.
Al-Wala’ dan Al-Baro’ adalah syarat dari iman yang benar, sebagaimana firman Allah ta’ala yang artinya :
“Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam siksaan. Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasiq.” (Al-Maa’idah : 80-81)
# AL-WALA’
Al-Wala’ (loyalitas) mencakup dukungan, kecintaan, penghormatan, dan penghargaan kepada sesuatu yang dicintai, baik secara terang-terangan maupun di dalam hati. Allah ta’ala berfirman :
“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindung mereka ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya (iman) kepada kegelapan (kekafiran)…” (Al-Baqarah : 257)
Al-Wala’ tidak berlaku kecuali kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. Allah berfirman :
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” (Al-Maa’idah : 55-56)
Wujud berwala’ kepada orang-orang yang beriman adalah dengan mencintai mereka, menolong mereka, menasehati mereka, mendoakan mereka, berkumpul dengan mereka, berkasih-sayang dengan mereka, menghindarkan bahaya dari mereka, memberikan mereka hak-hak mereka dalam Islam, dan berbagai hal lainnya yang termasuk dalam Al-Wala’ karena iman mereka yang benar.
Allah ta’ala berfirman yang artinya :
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka…” (Al-Fath : 29)
Loyalitas atau muwalah kepada orang-orang yang beriman berarti mendekatkan diri dengan mereka, menampakkan cinta kepada mereka dengan lisan, perbuatan, dan niat. Juga berarti dukungan atau pertolongan untuk setiap orang yang berpegang teguh dengan Islam dalam beraqidah, berbicara, dan berperilaku. Demikian juga memberikan perlindungan jika kehormatan dan hartanya terancam.
Perantara sebuah loyalitas atau muwalah adalah al-hubbu (cinta) dan perantara permusuhan atau mu’adah adalah al-bughdh (kebencian). Dengan itu maka akan timbul perbuatan dari hati dan anggota badan berupa pertolongan, perasaan senang, dan memberikan bantuan seperti berupa jihad, hijrah, dan hal-hal lainnya yang menunjukan Al-Wala’.
Al-Wala’ harus dilakukan dengan ikhlash untuk Allah, Allah ta’ala berfirman :
“Katakanlah: “Apakah akan aku jadikan pelindung selain dari Allah yang menjadikan langit dan bumi, padahal Dia memberi makan dan tidak memberi makan?” Katakanlah: “Sesungguhnya aku diperintah supaya aku menjadi orang yang pertama kali menyerah diri (kepada Allah), dan jangan sekali-kali kamu masuk golongan orang musyrik”.” (Al-An’am : 14)
Oleh karena itu kita tidak berwala’ karena mengharap jabatan ataupun harta, namun kita berwala’ karena Allah ta’ala semata.
– Wala’ kita kepada siapa saja yang beriman kepada Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Nabi.
– Wala’ kita kepada orang yang beriman, yang menyembah Allah saja, tidak menyekutukan-Nya, dan yang mengikuti manhaj Nabi dalam perkataan serta perbuatannya.
– Wala’ kita kepada orang-orang yang mengambil Al-Qur’an sebagai jalan hidup dan gaya hidupnya.
– Wala’ kita kepada orang-orang yang berusaha untuk berhukum dengan syari’at Islam, menyeru untuk menerapkannya, dan menegakkannya.
– Wala’ kita kepada orang-orang yang membawa panji Al-Islam dan berusaha untuk menyebarkannya di seluruh negeri. Mereka yang mengajarkan Tauhid kepada manusia dan memperingatkan mereka dari Syirik agar mereka beribadah kepada Allah yang Maha Pengampun lagi Maha Memberi Balasan dan menghancurkan kesyirikan sehancur-hancurnya.
– Wala’ kita kepada orang-orang yang meninggalkan rumah-rumah mereka, kerabat-kerabat mereka, keluarga mereka, dan negara-negara mereka untuk menolong (agama) Allah, dan menolong para mujahidin di manapun mereka berada.
– Wala’ kita kepada siapa saja yang berhijrah untuk membela Islam dan kaum muslimin, mulai dari bayi yang masih disusui hingga orang tua yang tua renta. Mereka yang merelakan hal-hal yang berharga untuk mengembalikan Al-Aqsha yang tertawan.
– Wala’ kita kepada seorang mukmin yang berusaha dengan jiwa dan hartanya untuk merawat orang-orang yang lemah, membela hak orang-orang yang dizhalimi, hingga dia rela untuk menemui maut demi membela mereka. Mereka yang berjalan di bawah bom-bom yang berjatuhan, demi terhindarnya kaum muslimin dari penjara yang gelap, dan hina.
– Wala’ kita untuk orang-orang yang beriman, yang berjihad di jalan Allah. Mereka yang tidak berlezat-lezatan dengan makanan dan minuman, bahkan mereka meninggalkan dunia dan pergi berperang demi memenuhi perintah Allah ‘azza wa jalla : “Pergilah untuk berperang dalam keadaan ringan dan berat! Dan berjihadlah dengan harta dan jiwa kalian di jalan Allah!” (At-Taubah : 41). Mereka takut ancaman Allah yang artinya: “…Jika kalian tidak pergi untuk berperang, niscaya Dia akan mengadzab kalian dengan adzab yang pedih…” (At-Taubah : 39)
– Wala’ kita untuk orang yang beriman yang menolak demokrasi yang menuhankan manusia dan menghindarkan hak penetapan hukum bagi Allah. Orang beriman yang memerangi sistem demokrasi yang telah berlawanan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Kita memberikan muwalah (loyalitas) kepadanya, pertolongan untuknya, dan kita mencintainya karena Allah.
# AL-BARO’
Dasar Al-Wala’ atau muwalah adalah kecinatan, dan dasar Al-Baro’ atau mu’adah adalah kebencian, dan kemudian melahirkan perbuatan dari hati dan anggota badan yang masuk dalam hakikat muwalah dan mu’adah, seperti memberikan dukungan, pertolongan, dan bantuan, contoh berjihad, hijrah, dan lain sebagainya. (Ar-Rosail Al-Mufid)
Al-Wala’ Wal Baro termasuk prasyarat La Ilaha Illallah. Al-Wala’ dasarnya adalah rasa cinta, dan dukungan atau pertolongan. Sedangkan Al-Baro dasarnya adalah rasa benci dan permusuhan. Maka jika kita mencintai orang-orang yang beriman namun belum menolong mereka atas musuh-musuh mereka berarti kita belum berwala’ atau bermuwalah kepada mereka. Demikian juga jika kita membenci orang-orang kafir, munafik, dan murtaddin, namun belum memusuhi mereka maka kita berarti belum baro’ terhadap mereka dengan sebenar-benarnya baro’.
Allah ta’ala berfirman yang artinya :
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja…” (Al-Mumtahanah : 4)
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali(mu).” (Ali Imran : 29)
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak mereka…” (Al-Mujadilah : 22). Dalam sebuah tafsir ayat ini berhubungan dengan Abu Ubaidah yang membunuh ayahnya pada perang Badar.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik)…” (Al-Maa’idah : 57)
“Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam siksaan.” (Al-Maa’idah : 80)
Allah ta’ala telah berfirman mengenai perilaku berwala’ kepada orang-orang kafir secara umum, yaitu:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang…” (Al-Mumtahanah : 1)
Namun lebih dari itu Allah mengharamkan bermuwalah kepada orang-orang kafir meskipun mereka dekat dengan orang-orang yang dinisbahkan dengan Islam. Allah ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim…” (At-Taubah : 23)
“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (Al-Anfal : 73)
Oleh karena itu Allah hanya menetapkan bermuwalah atau berwala’ hanya kepada orang-orang yang beriman dan tidak kepada orang-orang kafir, Dia subhanahu wa ta’ala juga mengabarkan bahwa orang-orang kafir sebagian dari mereka adalah pelindung bagi sebagian dari mereka yang lain. Dan akibatnya jika kita tidak melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Allah maka akan terjadi fitnah dan kerusakan yang besar. Maka bagaimana bisa agama ini dapat terlaksana seperti Jihad, dan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar jika tidak disertai dengan rasa cinta karena Allah dan benci karena Allah? Memusuhi karena Allah dan berloyalitas karena Allah?
Dan sebagai penutup, marilah kita kembali kepada Aqidah yang lurus, seperti memperbaiki pemahaman kalimat Tauhid, pengetahuan seputar Ibadah, pendidikan generasi di atas Al-Qur’an dan Sunnah, menghadapi dahsyatnya perang pemikiran (Ghazwul Fikri), memperdalam konsep Al-Wala’ wal Baro’, konsep permusuhan antara golongan Allah (Hizbullah) dan golongan Syaitan (Hizbusy Syaithan), dan mengingat kembali dekatnya pertolongan Allah.
Wallahu ta’ala a’lam, wa shollallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in.