أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
سَتَكُونُ أُمَرَاءُ
فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ
عَرَفَ
بَرِئَ
وَمَنْ
أَنْكَرَ سَلِمَ
وَلَكِنْ مَنْ
رَضِيَ
وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ
لَا
مَا
صَلَّوْا
Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: “Akan muncul
pemimpin-pemimpin yang kalian kenal, tetapi kalian tidak menyetujuinya. Orang
yang membencinya akan terbebaskan (dari tanggungan dosa). Orang yang tidak
menyetujuinya akan selamat. Orang yang rela dan mematuhinya tidak
terbebaskan(dari tanggungan dosa).” Mereka bertanya: ”Apakah kami perangi
mereka?” Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: ”Tidak, selagi mereka
masih sholat.” (HR Muslim 3445)
Dengan jelas Nabi shollallahu
’alaih wa sallam menyatakan bahwa orang yang membenci para pemimpin yang
zalim dan fasiq itu akan terbebaskan dari tanggungan dosa. Orang yang tidak
menyetujui mereka akan selamat. Berarti hadits ini menegaskan sikap yang
semestinya dimiliki seorang mukmin ketika berhadapan dengan pemimpin yang
memiliki penyimpangan akhlak. Berbeda sekali dengan anggapan sebagian orang
yang mengatakan bahwa di dalam ajaran Islam bagaimanapun perilaku seorang
pemimpin ummat harus tetap mematuhinya dan menganggapnya sebagai ulil amri
minkum (pemegang urusan di kalangan orang-orang beriman). Hadits ini jelas
membantah anggapan naif tersebut.
Lalu dengan tegas Nabi shollallahu
’alaih wa sallam memperingatkan mereka yang rela dan mematuhi para pemimpin
zalim dan fasiq itu. Beliau mengatakan bahwa ”Orang yang rela dan mematuhinya
tidak terbebaskan(dari tanggungan dosa).” Di sinilah ajaran Islam memandang
bahwa urusan menyerahkan loyalitas dan kepatuhan bukanlah perkara ringan. Sebab
tidak saja si pemimpin berdosa karena kezaliman dan kefasikannya. Tetapi rakyat
ikut menanggung dosa juga bila mereka tetap rela atas kezaliman dan kefasikan
pemimpin tersebut, apalagi kemudian mematuhinya. Sehingga Allah melarang
seorang beriman untuk mentaati siapapun dan apapun tanpa ilmu dan kesadaran
akan mana yang benar dan mana yang batil.
وَلا
تَقْفُ
مَا
لَيْسَ
لَكَ
بِهِ
عِلْمٌ
إِنَّ
السَّمْعَ
وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ
أُولَئِكَ كَانَ
عَنْهُ
مَسْئُولا
”Dan janganlah kamu mengikuti apa
yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS Al-Israa 36)
Namun suatu hal yang memang Nabi shollallahu
’alaih wa sallam juga anjurkan ialah agar ummat jangan berfikiran untuk
memeranginya selagi si pemimpin tersebut masih sholat. Menarik untuk
diperhatikan ialah pandangan Imam Nawawi mengomentari potongan hadits ini ”Apakah
kami perangi mereka?” Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: ”Tidak,
selagi mereka masih sholat.” Beliau menulis sebagai berikut:
وَأَمَّا قَوْله
: ( أَفَلَا نُقَاتِلهُمْ ؟
قَالَ
: لَا
،
مَا
صَلَّوْا )
فَفِيهِ مَعْنَى مَا
سَبَقَ
أَنَّهُ لَا
يَجُوز
الْخُرُوج عَلَى
الْخُلَفَاء
بِمُجَرَّدِ الظُّلْم أَوْ
الْفِسْق مَا
لَمْ
يُغَيِّرُوا شَيْئًا مِنْ
قَوَاعِد الْإِسْلَام .
Maknanya ialah tidak dibenarkan
keluar dari kepemimpinan khilafah hanya semata berdasarkan kezaliman dan
kefasiqan selama para pemimpin itu tidak merubah sesauatupun dari kaedah-kaedah
Al-Islam.
Ulama salaf ini dengan jelas sekali
menggaris-bawahi bahwa selagi pemimpin masih menegakkan secara formal sistem
kekhalifahan dan tidak merubah sesuatupun dari kaedah kaedah ajaran Al-Islam,
maka tidak dibenarkan bagi seorang mukmin meninggalkan atau keluar dari
kepemimpinan tersebut, walaupun akhlaq pemimpinnya zalim dan fasiq.
Saudaraku, permasalahan kita ummat
Islam dewasa ini adalah bahwa bukan saja negeri-negeri Islam dipimpin oleh
sebagian besar pemimpin yang berkepribadian zalim dan fasiq, tetapi sudah jelas
mereka tidak menegakkan sistem kekhalifahan dan bahkan nyata benar bahwa
kaedah-kaedah Islam telah banyak yang dirubah, baik oleh sang pemimpin
tertinggi maupun oleh kepemimpinan kolektif kolaborasi lembaga eksekutif,
legislatif dan yudikatif.
Untuk membuktikan kebenaran
sinyalemen di atas tidaklah sulit. Karena dalam realitas keseharian terlalu
banyak contoh kasus yang membenarkannya daripada membantahnya. Sungguh benarlah
kita dewasa ini sedang menjalani masa fitnah sebagaimana telah disinyalir
Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam.
بَادِرُوا فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي
كَافِرًا وَيُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنْ
الدُّنْيَا
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Bersegeralah beramal sebelum datangnya fitnah seperti sepenggalan
malam yang gelap gulita, seorang laki-laki diwaktu pagi masih mukmin dan
diwaktu sore telah kafir, dan diwaktu sore masih beriman dan paginya sudah
menjadi kafir, ia menjual agamanya demi kesenangan dunia.“(HR Ahmad 8493)
رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا
وَانْصُرْنَا عَلَى
الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
“Ya Rabb kami, tuangkanlah kesabaran
atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap
orang-orang kafir”. (QS Al-Baqarah 250)
Ihsan Tandjung – Senin, 20 Rajab
1435 H / 19 Mei 2014 15:00 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar