Berjuang di Era
Kepemimpinan Kaum Kuffar
Keadaan yang dihadapi ummat Islam dewasa ini sangat mirip dengan
keadaan yang dihadapi Nabi shollallahu ’alaih wa sallam dan para sahabat ketika
berjuang menegakkan Islam di Mekkah sebelum hijrah ke Madinah. Saat itu
orang-orang beriman menjadi kaum minoritas yang tertindas dan dibatasi ruang geraknya. Kaum muslimin tidak
memiliki bargaining position karena mereka masih lemah. Sedangkan yang memegang
otoritas kepemimpinan ialah kaum musyrik kuffar Quraisy Mekkah. Meskipun Nabi
shollallahu ’alaih wa sallam hadir di tengah kaum muslimin, namun Nabi
shollallahu ’alaih wa sallam tidak memiliki otoritas formal sebagai pemimpin
masyarakat umum.
Keadaan
ummat Islam dewasa ini mirip dengan keadaan generasi awal (para sahabat Nabi
shollallahu ’alaih wa sallam) sebelum hijrah dari Mekkah ke Madinah. Ummat
Islam dewasa ini minoritasmenghadapi
mayoritas masyarakat dunia yang beragama di luar agama Allah Al-Islam. Jumlah
seluruh penduduk dunia enam milyar lebih. Sedangkan jumlah ummat Islam hanya
sekitar 1,6 milyar. Jelas ummat Islam minoritas dibandingkan mayoritas
masyarakat dunia yang beragama di luar Islam alias kafir.
Sebagai akibatnya dunia
menyaksikan ummat Islam menjadi ummat yang tertindas di berbagai bidang kehidupan dan di
berbagai belahan bumi Allah ta’aala. Baik itu di negeri-negeri yang jelas-jelas
berada dalam konflik fisik seperti Palestina, Afghanistan, Irak, Kashmir,
Chechnya dan Filipina. Maupun di negeri-negeri yang tidak dalam keadaan
berperang. Ummat Islam berada pada posisi yang tidak berdaulat. Banyak hambatan
yang dirasakan datang dari kalangan jelas-jelas kafir non-muslim maupun dari
kalangan sekularis-liberalis-nasionalis sesama muslim.
Konsekeuensi
lainnya yang dihadapi ummat Islam ialah ruang gerak mereka dibatasi.
Mereka tidak diizinkan untuk menampilkan Islam sebagai suatu sistem kehidupan
yang utuh dan lengkap. Semua dimensi kehidupan diharuskan untuk berfungsi
mengikuti logika sekular dan liberal bebas dari nilai agama manapun, apalagi
Islam. Kalaupun Islam dibenarkan hadir maka kehadirannya sangat parsial dan
periferal. Islam tidak dibenarkan hadir menjadi kekuatan utama dan tunggal. Dan
yang lebih memprihatinkan ialah bahwa Islam kalaupun boleh tampil, maka ia
harus tampil dengan semangat ”berkoalisi” dengan nilai-nilai lain di luar
Islam.
Disinilah pentingnya kita belajar dari Siroh Nabawiyyah (Sejarah
Perjuangan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam). Bagaimanakah Nabi shollallahu
’alaih wa sallam dan para sahabat berjuang ketika masih dalam keadaan lemah?
Dalam keadaan mereka menjadi kelompok minoritas, tertindas dan terbatas ruang
geraknya? Bagaimana mereka berjuang ketika masih di Mekkah sebelum hijrah ke
Madinah? Bagaimana mereka berjuang di era kepemimpinan kaum kuffar?
Sekurang-kurangnya ada tiga
ciri menonjol perjuangan mereka ketika masih di Mekkah sebelum hijrah ke
Madinah. Pertama, Nabi
shollallahu ’alaih wa sallam dan para sahabat menunjukkan ke-istiqomahan yang
luar biasa. Di tengah kejahiliyahan dan kemusyrikan yang menggejala mereka
tampil dengan semangat:
يَخْتَلِطُونَ وَ لَكِنْ يَتَمَيِّزُونَ
“Berinteraksi (dengan
masarakat) namun (menunjukkan) keistimewaan.”
Di satu sisi mereka aktif hidup di tengah masyarakatnya yang
jahiliyyah dan menyembah berhala, namun mereka sanggup mempertahankan
keistimewaan, terutama keistimewaan aqidah, keistimewaan fikrah (ideologi) dan
keistimewaan akhlak. Mereka tidak mengucilkan diri dari masyarakat walaupun
masyarakatnya tenggelam dalam kejahiliyahan dan kemusyrikan. Mereka tidak
mengisolasi diri dari realitas masyarakat betapapun keadaannya. Namun interaksi
para sahabat di tengah masyarakat seperti itu tidak juga menyebabkan mereka
terkontaminasi dan menjadi ikut-ikutan jahiliyyah apalagi menjadi musyrik…!
Kedua, interaksi yang dijalin para sahabat di
tengah masyarakat jahiliyyah mengandung kejelasan misi. Yaitu misi da’wah
Islam. Para sahabat di bawah komando Nabi shollallahu ’alaih wa sallam sangat
aktif, intensif dan persuasif mengajak setiap anggota masyarakat musyrik Mekkah
untuk menuju jalan Allah ta’aala. Mereka sangat faham bahwa menjadikan setiap
manusia non-muslim mau mengucapkan dua kalimat syahadat merupakan kegiatan
paling mulia dan utama bila ingin menyaksikan terjadinya perubahan hakiki
masyarakat ke arah perbaikan.
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ
صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
”Siapakah yang lebih baik
perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang
saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri”
(QS Fushilat ayat 33)
Mereka tidak menghabiskan waktu untuk sebatas berdagang apalagi
tenggelam dalam hiburan-hiburan bersama masyarakat musyrik dimana mereka hidup.
Para sahabat sangat menginginkan keimanan menyebar dan masuk ke dalam hati
setiap orang yang ia jumpai. Karena hanya dengan iman dan Islam sajalah
seseorang akan meraih keselamatan sejati di sisi Allah ta’aala. Dan para
sahabat telah merasakan sendiri betapa manisnya iman dibandingkan dengan
kepahitan hidup sebelumnya dalam kekufuran dan kemusyrikan…!
Ketiga, Rasulullah
shollallahu ’alaih wa sallam dan para sahabat ketika masih berjuang di Mekkah
sebelum hijrah ke Madinah tidak sedikitpun menunjukkan sikap kompromi terhadap
sistem dan ideologi jahiliyyah. Oleh karenanya, sebelum hijrah Nabi dan para
sahabat tidak pernah menjalin negosiasi apapun dengan kaum musyrikin. Negosiasi
baru pertama kali disepakati antara kaum muslimin dengan kaum musyrikin yaitu
saat Perjanjian Hudaibiyah. Ketika itu muslimin telah hijrah dan memiliki
kekuatan sehingga bargaining position mereka diperhitungkan musyrikin.
Pernah satu kali gembong musyrikin mengajak Nabi shollallahu
’alaih wa sallam berkompromi sewaktu masih di Mekkah sebelum hijrah, yaitu saat
mereka menawarkan untuk bersama kaum muslimin menyembah tuhan kaum muslimin yaitu
Allah ta’aala selama satu tahun asalkan selama satu tahun berikutnya kaum
muslimin siap menyembah berhala-berhala kaum musyrikin bersama kaum musyrikin.
Apa jawaban Nabi shollallahu ’alaih wa sallam? Nabi shollallahu ’alaih wa
sallam tidak menjawab, melainkan Allah ta’aala menurunkan wahyu sebagai
berikut:
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ
وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ وَلَا
أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
”Katakanlah: “Hai orang-orang
yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan
penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa
yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku
sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku”. (QS Al-Kafirun ayat 1-6)
Ust. Ihsan Tanjung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar