Menjadi terasing adalah sebuah karunia. Sebangsa
rezeki yang Allah berikan kepada hamba pilihan. Terasing dari segala bentuk
segala hiruk-pikuk dunia yang melalaikan. Terasing dengan bersikap tegas saat
orang tak memiliki nyali untuk mewartakan jalan hidupnya. Terasing dengan
bertindak tidak populer ketika memang aqidah menuntut demikian.
Terasing dari ideologi, pemikiran, perilaku, dan
kultur yang merusak Islam. Tepat 1431 tahun yang lalu, Rasulullah mengajarkan
bagaimana menghargai sebuah keyakinan. Keyakinan yang harus dibayar dengan
meninggalkan tumpah darah dan bahkan nyawa. Hijrah, merupakan tuntutan yang
paling inti dari tauhid seseorang. Sebuah momentum sejarah yang dijadikan awal
penghitungan kalender Islam.
Tetapi “terasing” bukanlah mengasing-asingkan
diri. Juga bukan sikap “asal beda”. Ada proses hukum dialog yang menyertainya.
Ada mukadimah dan hukum sebab akibatnya. Bahwa jika pada akhirnya seseorang
harus terasing atau bahkan uzlah(mengasingkan diri), itu adalah jalan darurat
ketika ikhtiar telah ditempuh. Dr. Salman Audah, bahkan memberi sub judul
serial ghuraba’-nya dengan min wasaaili-daf’il ghurbah (sarana keluar dari
keterasingan).
Melalui telaah kritis sirah, beliau berhasil
menggambarkan bagaimana kiat Rasul keluar dari keterasingan. Ruh yang harus
kita tangkap adalah: bagaimana seseorang konsisten memegangi prinsip. Juga,
bahwa lingkungan haruslah diposisikan sebagai obyek dakwah dan bukan musuh. Di
sini diperlukan kearifan, kedewasaan, kepekaan, dan ketajaman untuk
menyinkronkan antara kajian normatif syar’i dan kajian waqi’ (realitas).
Kita sering menemukan bab “pra kenabian” dan
“pasca kenabian” dalam setiap buku Sirah Nabi. Digambarkan bagaimana kebodohan
Arab yang menyembah berhala; melakukan praktik riba; tenggelam dalam lumpur
perzinaan, dan seterusnya. Bab berikutnya memaparkan kondisi Arab paska
kenabian yang begitu ideal. Rasulullah berhasil menjawab ragam problem sosial
kala itu. Nampak, betapa Rasulullah sangat dekat dengan realitas umatnya. Ini
membawa pesan kuat bahwa Nabi diutus untuk menjawab realitas. Permunculannya,
bukan semata membawa misi dogmatik yang tak berhubungan dengan masalah-masalah
sosial umat.
Di sini kita perlu berkaca. Seiring munculnya
kesadaran kembali ke identitas Islam, para aktivis sering terjebak pada elitisme.
Ada jarak yang cukup tajam antara pemahaman normatif dengan realita. Tidak
jarang mereka membuat realitas sendiri dan seolah hidup di planet yang berbeda
dengan umatnya. Ketika di sebuah kampung, seorang Kepala Desa tidak amanat
menyalurkan bantuan hak rakyat, seolah ini bukan problem kita. Juga ketika di
sebuah kota yang berdiri universitas, dan di sekitarnya banyak praktik
kos-kosan mesum terselubung, para aktivis seolah tak berdaya hendak bertindak
apa? Banyak problem sosial yang sering luput dari perhatian aktivis. Padahal
jika kita cermati, problem-problem tersebut adalah wilayah dakwah dan amar
makruf nahi mungkar.
Bukan tidak ada dakwah atau nahi mungkar, tapi
kadang variasi kegiatan keduanya lebih cenderung monoton dalam bentuk
pengajaran di madrasah dan masjid. Tidak dalam bentuk koordinasi, atau
jaringan-jaringan organisasi publik terbuka yang memiliki daya pressure,
lengkap dengan syarat-syarat yang harus diselenggarakan. Menyikapi birokrat
yang korup misalnya, jarang terdengar aktivis Islam menggunakan lembaga masjid
sebagai kontrol sosial; dalam bentuk semacam LSM misalnya, yang berposisi
berhadap-hadapan dengan kelurahan atau BPD (Badan Pengawas Desa). Padahal di
sini, banyak aspirasi umat bisa disuarakan.
Memang, negara ini tidak diatur berdasarkan
syariat Islam. Dan bahwa para aktivis hendak mengupayakan sebuah solusi
komprehensif dengan bercita menegakkan syariat Islam; dengan dakwah tauhid; dan
mungkin dengan berjamaah. Tapi, saat “solusi utama” sedang berproses, apakah
problem-problem parsial tersebut akan dilepaskan? Gagasan besar iqamatuddien,
tidak seharusnya menumpulkan kepekaan lingkungan yang tampak remeh-temeh. Sebab
sesuatu yang besar, bermula dari yang kecil. Banyak hal besar, tidak berjalan
karena hal kecil kurang diperhatikan.
Dalam konteks yang lebih luas, di jagad gerakan
jihadis, muhasabah Abu Mus’ab As-Suri dalam bab hashadus shahwah al-islamiyah…
menarik untuk direnungkan. Beliau menyoroti kurangnya pengaruh fikih waqi’
dalam politik syar’i yang dilakukan oleh kelompok jihadis. Ini berimbas pada
kurangnya materi pembinaan yang memadahi untuk dapat menjadi alat baca akurat
penggolongan masyarakat: siapa kawan, siapa lawan, dan siapa netral? Tidak
jarang, sering terjadi generalisasi yang berimbas kacaunya identifikasi, dan
berlanjut pada penentuan pola interaksi yang juga general dan campur-aduk.
Musuh kadang disikapi sebagai kawan, demikian juga kawan kadang disikapi
sebagai musuh.
“Shahwah Islamiyah nonpolitik malah asyik
mengisolasikan diri dari kehidupan realitas. Sedangkan aliran jihadi, karena
mereka mayoritas dari sekelompok pemuda yang belum paham, hingga tidak
menguasai soal-soal peradaban dan tidak memahami realitas.” Begitu simpulan
As-Suri. Ideolog jihad ini melanjutkan: “Pertempuran saat ini, tidak lagi
berkutat hanya dalam bidang kemiliteran dan keamanan, tetapi juga dalam bidang
politik, media, dan ekonomi. Dalam konfrontasi militer dan keamanan, ilmu
pengetahuan juga sangat berperan besar. Kerendahan tingkat pemahaman terhadap
fikih waqi’, akan berimplikasi pada kerendahan manhaj, literatur, informasi,
dan isi komunikasi serta metode penyampaiannya…”
Demikianlah, membangun kepekaan bukan semata
kajian normatif. Ia memerlukan keterampilan dan pembiasaan. Dan pembiasaan yang
baik adalah dengan mencermati hal-hal yang dekat. Kurangnya eksperimen dalam
hal ini, membuat gerakan jihadis miskin karya di luar fikrah ushul manhaj. Ini
yang juga dicatat oleh As-Suri. Beliau menulis: “Jika kita perhatikan, gagasan
yang diluncurkan (gerakan jihadis), hanya terbatas dalam masalah pemerintahan
Islam, dasar-dasar al-wala’ wal-bara’dan akidah. Kreativitas mereka sedikit dan
kebanyakan adalah pengulangan fikih Imam Ibnu Taimiyah dan beberapa imam salaf…
Padahal bencana sangat banyak. Bidang-bidang kebijakan politik Islam dan kebijakan
kontemporer sangat luas. Kebutuhan untuk menuliskan hal di atas juga sangat
besar…”
Tidak heran jika As-Suri menyebut bahwa
eksperimen gerakan Islam di banyak negara dinilai gagal. Kegagalan antara pada
lini siyasah dan opini. Mengasingkan diri dari umat, justru membuat mereka akan
jauh dari kita. Mengasingkan diri, tidak selalu berkonotasi berpisah secara
fisik tapi bisa nonfisik. Bagaimana aktivis bisa dekat ke umat jika tidak
pernah melakukan “customer insight?” Bagaimana mereka tidak rikuh mendekat,
jika kita tidak care terhadap masalah mereka? Dengan demikian, obsesi aktivis
Islam yang hendak menjadikan perang terhadap kezaliman sebagai jihad sya’biyyah
(jihadnya umat) agak sulit untuk diwujudkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar