Suatu ketika selagi berda’wah di Australia,
penulis ditanya oleh seorang mahasiswa Indonesia yang sedang mengambil program
paska-sarjana, “Ustadz, mana yang lebih baik antara seorang ‘muslim tapi’ atau
orang ‘kafir yang baik’?” Pertanyaan ini sungguh mencerminkan kebingungan
penanya yang barangkali juga mewakili kebingungan banyak kaum muslimin dewasa
ini. Yang dimaksud dengan seorang ‘muslim tapi’ ialah seorang muslim tapi
banyak berbuat dosa. Muslim, tapi korupsi. Muslim, tapi minum khamr. Muslim,
tapi berzina. Muslimah, tapi tidak berjilbab. Sedangkan yang dimaksud dengan
seorang ‘kafir yang baik’ ialah seorang non-muslim tapi disiplin, rajin
bekerja, tertib, teratur, jujur dan lain sebagainya.
Maka penulis menjawab dengan mengatakan bahwa
keduanya sama-sama buruk. Si ‘muslim tapi’ buruk karena dia setiap hari
berdusta kepada Allah سبحانه و تعالى . Dia mengaku beriman tetapi tidak sanggup
menghadapi berbagai ujian di dunia. Ia tidak bersungguh-sungguh dalam menjaga
identitasnya sebagai bahagian dari kaum beriman. Padahal Allah سبحانه و تعالى
telah memperingatkan setiap orang yang mengaku beriman bahwa dirinya akan diuji
agar tersingkap siapa yang jujur dan benar dalam pengakuan berimannya dan siapa
yang berdusta alias berbasa-basi dalam pengakuannya.
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ
يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَوَلَقَدْ فَتَنَّا
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا
وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Apakah manusia itu mengira bahwa
mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak
diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum
mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya
Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-Ankabut [29] : 2-3)
Sedangkan si ‘kafir yang baik’ juga buruk
karena segala kebaikan yang dia perlihatkan hanya bermanfaat sebatas hidupnya
di dunia. Sedangkan segala kebaikan yang dia perlihatkan tersebut tidak akan
menghasilkan akibat baik apapun bagi kehidupannya di akhirat kelak. Sehingga
Allah سبحانه و تعالى gambarkan bagaimana amal perbuatan orang-orang yang kafir
terhadap hari Akhir menjadi seperti debu berterbangan alias tidak ada nilainya sama
sekali.
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا
عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
“Dan Kami hadapkan segala amal yang
mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS. Al-Furqan [25] : 23)
Lalu apa yang mestinya dilakukan? Berda’wah. Ajaklah manusia
agar menuju ke Allah سبحانه و تعالى . Angkatlah derajat si ‘muslim tapi’ agar
meninggalkan posisi buruk status quo-nya. Doronglah dia agar menjadi seorang
muslim-mukmin sejati. Tidak lagi gemar melakukan dosa. Sedangkan da’wah kepada
si ‘kafir yang baik’ ialah dengan memperkenalkan kepadanya jalan hidup yang
benar, yaitu dienullah Al-Islam. Dan pada puncaknya, ajaklah dia agar
memeluk Islam sebagaimana yang dicontohkan oleh teladan utama kita Nabi
Muhammad صلى الله عليه و سلم . Hal ini dilakukan agar segala kebaikan yang
telah ia lakukan mempunyai efek dan nilai yang jauh sehingga terbawa ke alam
berikutnya yaitu kehidupan akhirat. Sebagaimana Allah سبحانه و تعالى nyatakan
di dalam ayat berikut:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا
مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُحَيَاةً طَيِّبَةً
وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal
saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya
akan Kami berikan kepadanya kehidupan (di dunia) yang baik dan sesungguhnya
akan Kami beri balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl [16] : 97)
Di era penuh fitnah seperti sekarang banyak
muslim yang bingung. Mereka melihat di satu sisi kemajuan atau kebaikan
material umumnya melekat pada kaum kafir. Sedangkan di sisi lain segala hal
yang berkaitan dengan keterbelakangan atau keburukan selalu melekat pada mereka
yang disebut kaum muslimin. Akhirnya kebingungan itu melahirkan kian banyak
muslim yang tidak lagi peduli dengan nikmat yang semestinya paling berharga
dalam hidupnya, yaitu iman dan Islam.
Di samping itu mulailah kepercayaannya akan Islam sebagai
identitas orisinalnya memudar. Mulailah mereka mencari-cari identitas lain yang
mereka yakini lebih dapat mengangkat leverage (status) kemuliaan dirinya di hadapan manusia
banyak. Mereka tidak lagi bangga mengaku sebagai muslim. Ada yang lebih bangga
menjadi seorang rasionalis, spiritualis, moderat, radikalis, fundamentalis,
demokrat, nasionalis, humanis, pluralis, sekularis, modernis, progressif,
westernis, orientalis, liberalis atau universalis. Padahal secara gamblang
Allah سبحانه و تعالى menyebutkan bahwa identitas orang beriman adalah menjadi
kaum muslimin. Inilah sebutan resmi langsung dari Allah سبحانه و تعالى terhadap
orang-orang yang beriman sepanjang zaman.
هُوَ اجْتَبَاكُمْ
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَأَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ
هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا
“Dia (Allah سبحانه و تعالى ) telah memilih kamu
dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.
(Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian
muslimin dari dahulu, dan (begitu pula) dalam
(Al-Qur’an) ini.” (QS. Al-Hajj [22] :
78)
Di dalam buku Al-Islam,
Sa’id Hawwa menulis:
“Seandainya Islam undur dari
panggung kehidupan, niscaya segala sesuatu yang ada di bumi ini tidak ada yang
berada pada tempatnya dan semuanya dalam keadaan yang tidak tetap.
Norma-norma akan menjadi tidak karuan dan nilai-nilai menjadi jungkir balik.
Yang kemarin diharamkan, hari ini akan menjadi barang halal. Begitu pula
sebaliknya. Apa yang ditetapkan hari ini, esoknya dibatalkan. Dan apa yang
ditetapkan esok harinya, lusanya tidak akan berlaku lagi. Hawa nafsu manusia
mencoba mengungkap hakikat dirinya dengan teori-teori yang paling bertentangan
dan berlawanan. Dan bersama dengan teori-teori tersebut manusia semakin tidak
tahu tentang hakikat dirinya. Tidak tahu mana jalan masuk dan mana jalan
keluar. Ia berputar-putar dalam lingkaran syetan. Menggelinding tak tentu arah.
Meski dirinya membayangkan bahwa ia tahu apa yang ia harus lakukan, namun
hakikatnya ia tidak tahu apa yang ia harus lakukan, ia tidak tahu mengapa ia
melakukan dan mengapa ia menghendaki? Setiap generasi ingin mengungkap hakikat
dirinya dalam bentuk yang berbeda dengan orang lain. Di sana tidak ada dasar
yang dijadikan rujukan manusia atau diakuinya. Maka kepada seseorang tidak dapat
ditegakkan hujjah. Manusia tidak tunduk kepada satu pendapat. Meskipun
seseorang atau penguasa menginginkan seluruh manusia kembali kepada satu
sistem. Tetapi mereka pasti akan membangkangnya. Merdekakah manusia?
Ketika itulah manusia telah menjadi
binatang-binatang di hutan belantara. Malah, barangkali keadaannya lebih buruk
daripada binatang-binatang itu. Sebab manusia telah mengeksploitasi kemampuan
dan fasilitas ilmiahnya di jalan yang sama sekali menyimpang. Maka binatang
paling buruk manapun tidak akan mampu melakukan lebih sedikit saja darinya
beribu-ribu kali.
Gambaran tersebut adalah kenyataan
manusia sekarang. Dan kenyataan ini akan semakin memburuk. Bukankah jika
semakin banyak aparat keamanan, semakin meningkat angka kriminalitas? Bukankah
sekarang ini muncul generasi banci dan liar? Bukankah dimana-mana telah
merajalela kebebasan hubungan seks? Bukankah angka orang yang terkena penyakit
kelainan seks semakin meningkat sampai di beberapa negara tertentu telah
mencapai 70% laki-laki yang kena penyakit tersebut? Bukankah kita melihat
teori-teori yang diajukan setiap hari malah menjadikan suatu masalah semakin
kacau dan bertentangan? Apa artinya semua itu?
Sekali lagi, undurnya Islam
dari panggung dunia ini akan menjadikan segala sesuatu berada bukan pada
tempatnya. Karena Islam adalah satu-satunya prinsip Rabbani yang benar dan
lurus, jauh dari penyimpangan dan kesalahan. Islam-lah satu-satunya yang dapat
menyempurnakan kemanusiaan di bawah naungannya. Tanpa Islam, segala sesuatu
yang ada dalam manusia dan untuk manusia akan musnah.” (hal. 1, 2 dan 3 jilid 03)
***
Allah سبحانه و تعالى menyatakan bahwa hanya dan hanya dengan
menempuh jalan hidup Islam ini sajalah umat manusia bakal hidup dalam keadilan,
selamat, damai dan bersatu, Jika mereka mencari jalan yang lainnya –baik
dicampurkan bersama Islam atau tidak- maka niscaya berantakanlah mereka:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي
مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُوَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ
عَنْسَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“… dan bahwa (yang Kami perintahkan)
ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti
jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari
jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An’aam [6] : 153)
Kemudian Allah سبحانه
و تعالى telah menegaskan secara pasti di dalam Al-Qur’an, bahwa Islam merupakan Din bagi
seluruh Nabi-nabi dan Rasul-rasul sejak dari Adam as sampai dengan Nabi
Muhammad صلى الله عليه و سلم –sebagai pembawa risalah samawi (langit) yang
terakhir. Dalam hubungan ini
dapat diperhatikan beberapa kutipan dari al-Qur’an seperti di bawah ini.
Berkenaan dengan Nuh, Ibrahim dan Ismail alaihimus salam di dalam Al-Qur’an disebutkan:
وَأُمِرْتُ أَنْ
أَكُونَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“…aku disuruh supaya aku termasuk
golongan orang-orang muslim (yang berserah diri kepada-Nya).”(QS. Yunus [10] : 72)
رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا
مُسْلِمَيْنِ لَكَ
“Ya Rabb kami, jadikanlah kami berdua
orang muslim (yang tunduk patuh) kepada Engkau.” (QS. Al-Baqarah [2] : 128)
Nabiyullah Ya’qub alaihimas salam mewasiatkan kepada anak-anaknya sebagaimana tersebut di dalam
al-Qur’an:
إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى
لَكُمُ الدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
“Sesungguhnya Allah telah memilih
agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan sebagai muslim
(memeluk agama Islam).” (QS. Al-Baqarah [2] :
132)
Sedangkan mengenai Taurat di dalam al-Qur’an diterangkan,
يَحْكُمُ بِهَا
النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُوا
“…yang dengan Kitab itu diputuskan
perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang Islam (menyerahkan diri kepada
Allah)…” (QS. Al-Maidah [5] :
44)
Dan mengenai Nabi Musa alaihis salam Al-Qur’an menerangkan,
فَعَلَيْهِ تَوَكَّلُوا
إِنْ كُنْتُمْ مُسْلِمِينَ
“Berkata Musa, ‘Hai kaumku, jika kamu
beriman kepada Allah, maka bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kamu
benar-benar muslimin (orang yang berserah diri)’.” (QS. Yunus [10] : 84)
Tentang Yusuf alaihimus salam al-Qur’an menerangkan,
تَوَفَّنِي مُسْلِمًا
وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ
“Wafatkanlah aku dalam keadaan Islam
dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.” (QS. Yusuf [12] : 101)
Dan berkenaan dengan
imannya tukang-tukang sihir Fir’aun kepada Musa alaihis salam al-Qur’an menceritakan,
رَبَّنَا أَفْرِغْ
عَلَيْنَا صَبْرًا وَتَوَفَّنَا مُسْلِمِينَ
“Ya Rabb kami, limpahkanlah kesabaran
kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan sebagai muslimin (berserah diri
kepada-Mu).” (QS. Al-A’raaf [7] :
126)
Sedangkan tentang kaum Hawariyyin —pembela Nabi Isa alaihis salam— disebutkan di dalam al-Qur’an,
ءَامَنَّا بِاللَّهِ
وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
“Kami beriman kepada Allah; dan
saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah muslimin (orang-orang yang berserah
diri).” (QS. Ali-Imran [3] :
52)
Ratu Saba’ pernah menyatakan
keislamannya sebagaimana diceritakan di dalam Al-Qur’an,
وَأَسْلَمْتُ مَعَ
سُلَيْمَانَ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Aku Islam (berserah diri bersama Sulaiman alaihis
salam) kepada Allah, Rabb semesta alam.” (QS. An-Naml [27] : 44)
Sedangkan berkenaan dengan do’a seorang laki-laki yang sholeh,
al-Qur’an menyebutkan,
وَأَصْلِحْ لِي فِي
ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Sesungguhnya aku bertaubat kepada
Engkau dan sesungguhnya aku termasuk muslim (orang-orang yang berserah diri).” (QS. Al-Ahqaf [46] : 15)
Dalam sebuah hadits shahih disebutkan:
الْأَنْبِيَاءُ
إِخْوَةٌ مِنْ عَلَّاتٍ وَأُمَّهَاتُهُمْ شَتَّى وَدِينُهُمْ وَاحِدٌ
Rasulullah صلى الله عليه و سلم bersabda, “Para Nabi
adalah satu ayah (Adam ‘alaihis salam), ibu mereka berbeda-beda namun agama
mereka satu.” (HR. Muslim 4362)
Dan Allah سبحانه و تعالى berfirman:
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ
الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًاوَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا
بِهِإِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَىأَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا
فِيهِ
“Dia (Allah سبحانه و تعالى ) telah
mensyari`atkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan
apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa
yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa alaihimus salam yaitu:
Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.” (QS. Asy-Syura [26] : 13)
Islam yang diserukan
oleh Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم dapat diketahui dari al-Qur’an dan
as-Sunnah yang telah diakui ke-shahihannya oleh para ulama hadits. Dan Islam
yang dibawa oleh Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم ini adalah merupakan hidayah
yang sempurna untuk seluruh ummat manusia. Allah سبحانه و تعالى menurunkan Islam ini secara menyeluruh
dan sempurna, sehingga tidak ada satu persoalanpun yang menyangkut kehidupan
manusia yang tidak diatur oleh Islam, baik yang berkait dengan hukum —seperti hukum mubah, haram,
makruh, sunnah, wajib dan fardhu— ataupun yang menyangkut masalah aqidah,
ibadah, politik, ekonomi, peperangan, perdamaian, perundang-undangan dan semua
konsep hidup manusia. Sebagai mensifati al-Qur’an, Allah سبحانه و تعالى
berfirman:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ
الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab
(Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu.” (QS. An-Nahl [16] : 89)
وَتَفْصِيلًا لِكُلِّ
شَيْءٍ
“…sebagai pelajaran dan penjelasan
bagi segala sesuatu,” (QS. Al-A’raaf [7] :
145)
Akan halnya sesuatu
yang belum dijelaskan secara gamblang dan rinci dalam al-Qur’an dan as-Sunnah
dapt diketahui dengan jalan pengambilan hukum (istinbath)
oleh para mujtahid ummat Islam.
Al-Qur’anul Karim dan
As-Sunnah An-Nabawiyyah telah menjelaskan semua persoalan yang berkait dengan
aqidah, ibadah, keuangan, sosial-kemasyarakatan, perang dan damai,
perundang-undangan dan kehakiman, ilmu, pendidikan dan kebudayaan, hukum dan
pemerintahan. Para ahli fiqih memformulasikan semua persoalan yang dibahas oleh
Islam menjadi persoalan aqidah, ibadah, akhlaq,muamalah dan uqubah (sanksi hukum).
Termasuk ke dalam masalah aqidah adalah masalah hukum dan
pemerintahan, dalam masalah akhlaq adalah masalah tatakrama, dan masalah ibadat
adalah shalat, zakat, haji dan jihad, dalam masalah muamalah adalah transaksi
keuangan, nikah dan segala persoalannya, soa-soal konflik, amanah dan harta
peninggalan, sedangkan yang termasuk ke dalam masalah uqubah ialah qishash,
hukuman bagi si pencuri, pezina, penuduh zina dan murtad.
Allah سبحانه و تعالى
membebani manusia agar Islam ditegakkan di muka bumi sebagai langkah untuk
menuju kehidupan ukhrawi. Hanya saja tabiat manusia sendiri cenderung tidak
menyukai beban yang diamanahkan kepadanya yang dapat membatasi hawa nafsu
syahwat dan kesenanagan serta kebebasannya, meskipun hal itu untuk kebaikannya.
Oleh itu Allah سبحانه و تعالى mewajibkan para pembela kebenaran yang beriman kepada Allah سبحانه و تعالى dan komitmen terhadap
kebenaran untuk membimbing kemanusiaan, supaya tunduk kepada kekuasaan Allah سبحانه و تعالى . Tugas ini dilaksanakan
dengan cara menegakkan ad-da’wah al-Islamiyyah, amar ma’ruf nahyi
munkar serta al-jihad fii sabilillah.
Menegakkan ad-da’wah
al-Islamiyyah, amar ma’ruf nahyi munkar bertujuan agar Islam betul-betul tegak di
tengah-tengah masyarakat Islam. Sedangkan jihad dilakukan bertujuan untuk
melindungi keberlangsungan ad-da’wah al-Islamiyyah serta amar ma’ruf nahyi
munkar dan untuk menegakkan kekuasaan syari’at Allah سبحانه و تعالى di seluruh
dunia.
Dengan demikian Islam dapat disimpulkan menjadi:
1.
Aqidah sebagai fondasi; yang tercermin dengan syahadatain dan
rukun iman
2.
Ibadah sebagai syiar-syiar ritual-seremonial peribadatan; yang
tercermin dengan shalat, zakat, puasa dan haji, juga disebut rukun Islam
3.
Bangunan (sistem) yang tegak di atas rukun-rukun tersebut yang
tercermin dengan seluruh sistem hidup Islam. Mencakup sistem politik, ekonomi,
sosial, hukum, budaya, pendidikan, kemiliteran, akhlaq dan lain-lain.
4.
Tiang-tiang penegak sebagai cara menegakkan sekaligus melindungi
Islam yang tercermin dengan ad-da’wah al-Islamiyyah, amar ma’ruf nahyi munkar
serta al-jihad fii sabilillah. Tiang-tiang penegak ini bersifat basyari (upaya
manusiawi), bukan tiang penegak yang bersifat rabbani, seperti sanksi fitriah,
sanksi paksaan ilahiah di dunia, dan balasan surga-neraka di akhirat.
Sesudah itu semua,
masih perlukah kita melirik dien (way of life, falsafah hidup, pedoman hidup,
sistem hidup) selain Al-Islam? Masih perlukah kita mencari-cari identitas
tambahan —baik dicampurkan bersama identitas sebagai muslim maupun berdiri
sendiri— selain identitas yang Allah سبحانه و تعالى langsung sematkan pada diri
kita, yaitu sebagai muslimin?
فَإِنْ تَوَلَّوْا
فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
“Jika mereka berpaling maka
katakanlah kepada mereka, ‘Saksikanlah, bahwa kami adalah kaum muslimin
(orang-orang yang berserah diri kepada Allah سبحانه و تعالى )’.” (QS. Ali-Imran [3] : 64)
-Ihsan Tanjung-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar