KIBLAT.NET — Dunia tempat kita tinggal ini telah
mengalami berbagai pergantian zaman. Dalam setiap pergantian itu, selalu kata
“perjuangan” hadir mengisi peristiwa demi peristiwa. Di kalangan aktivis Islam,
kata “juang” sangat akrab, bahkan menjadi pintu masuk pertama untuk bergabung
dalam amal-amal Islam berikutnya.
Kalimat berjuang itu mengandung pengertian yang
bercabang. Ada yang memparodikannya sebagai: beras, baju dan uang. Ada juga
yang sungguh-sungguh menterjemahkan berjuang itu sebagai:
اَلتَّضْحِيَّةُ وَالْفِدَاءُ لِأَجْلِ الْمَبَادِئِ
Yaitu pengorbanan untuk mempertahankan prinsip.
Baik itu prinsip yang haq maupun prinsip yang bathil.
Konon Karl Marx—pejuag prinsip Materialisme
Dialektik yang kemudian menjadi komunis—ketika mati, mati dalam keadaan
miskin. Tidak punya apa-apa. Demikian pula orang-orang PKI pada era 65.
Mereka berjuang untuk mempertahankan prinsip Komunismenya. Ada yang
dibunuh, dipenjara. Bahkan tidak sedikit yang hilang tanpa berita sampai
hari ini.
Kalau berjuang untuk prinsip yang bathil saja
diperlukan pengorbanan, dapat kita bayangkan bagaimana kalau yang diperjuangkan
itu adalah prinsip yang haq. Tentunya diperlukan pengorbanan yang jauh lebih
besar. Tuntutan pengorbanannya jauh lebih besar daripada itu semua.
Semoga Allah merahmati Syekh Athiyatulloh Al-Liby
rahimahullah. Ketika menyebut kata Al-Jihaad fi Sabilillah,
beliau menyebutkan bahwa perjuangan di jalan Allah itu:
إِنَّ طَرِيْقَ الْجِهَادِ طَوِيْلٌ وَشَاقٌّ
“Sesungguhnya perjalanan jihad fi sabilillah
itu suatu perjalanan yang jauh dan berat.”
Ustadz ‘Abdullah ‘Azzam rahimahullah
menyebutkan perjalanan jihad itu sebagai Al-‘Uruq (keringat), Ad-Dumuu’
(airmata) dan Ad-Dimaa’ (darah). Sementara Sayid Quththub rahimahullah
menyimpulkan dalam suatu kalimat:
إِيْمَانٌ وَجِهَادٌ وَ مِحْنَةٌ وَابْتِلاَءٌ وَصَبْرٌ وَثَبَاتٌ
ثُمَّ يَجِيْءُ النَّصْرُ ثُمَّ يَجِيْءُ النِّعَمِ
“Iman, jihad, ujian dan cobaan, kesabaran,
keteguhan, kemudian datang pertolongan, kemudian datang kenikmatan.”
Ya, ujian dan kesengsaraan. Jika berhenti sampai
di sini saja, setelah itu tidak melanjutkan perjalanan, maka dia akan rugi.
Karena ketika melanjutkan perjalanan dengan As-Shabr (kesabaran) dan Ats-Tsabat
(keteguhan) datanglah An-Nashr (pertolongan) yang disusul dengan An-Ni’am
(kenikmatan-kenikmatan).
Jadi, kalau kita berbicara tema kejuangan,
sesungguhnya kita sedang berbicara sebuah perkara yang besar. Lebih besar
ketimbang membicarakan apa menu makanan yang hendak kita santap hari ini. Pun
lebih besar daripada membicarakan tentang hak dan keadilan dalam sebuah
keluarga poligami, misalnya.
Kita membicarakan suatu qodhiyah yang
lebih besar dan lebih penting. Yang perjalanannya sangat panjang dan penuh
dengan beban-beban yang berat. Di dalam perjalanannya ada keringat, airmata dan
darah. Ada penjara, ada pembunuhan, ada pula penghilangan orang dan harta.
Sampai sekarang, berapa banyak ikhwan kita yang hilang begitu saja, tanpa bisa
ditanya kepada siapa.
Ujian itu merupakan suatu keniscayaan.
Allah SWT berfirman:
الم. أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ
لَا يُفْتَنُونَ. وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ
اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Alif laam mim. Apakah manusia mengira bahwa
mereka itu dibiarkan apabila mereka mengucapkan ‘kami beriman’, kemudian mereka
tidak diuji? Dan benar-benar telah diuji atau benar-benar telah Kami uji.
Allah. Benar-benar Allah. Benar-benar telah Kami uji orang sebelum mereka, maka
Allah Mengetahui siapa di antara mereka yang sungguh-sungguh imannya (shiddiq)
dan siapa di antara mereka yang dusta.” (QS. Al-Ankabut)
Beratnya ujian yang dihadapi oleh mereka yang
berjuang demi Islam digambarkan oleh Allah SWT dalam ayat yang lain:
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ
مَثَلُ الَّذِيْنَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسآءُ وَالضَّرَّآءُ
وَزُلْزِلُوْا حَتَّى يَقُوْلَ الرَّسُوْلُ وَالَّذِيْنَ آمَنُوْا مَعَهُ مَتَى
نَصْرُ اللّهِ أَلآ إِنَّ نَصْرَ اللّهِ قَرِيْبٌ (البقرة: 214).
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk
surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang
terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta
digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan
orang-orang yang beriman bersamanya, ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah?’
Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (Al-Baqarah:
214)
Mereka tertimpa kegoncangan. Sebelumnya mereka
juga sudah menerima penderitaan yang lain. Sampai akhirnya mengalami
kegoncangan yang demikian dahsyat, sampai-sampai mereka pun menjerit, “Kapan
pertolongan Allah datang?” Ya, mereka sampai menjerit. Akhirnya Allah
mengabarkan bahwa pertolongannya itu dekat.
Memang pertolongan Allah itu dekat. Tetapi
perjalanannya yang jauh, panjang dan berat.
Ayat tersebut memang menceritakan kondisi yang
terjadi pada para shahabat Nabi Muhammad SAW di masa lalu. Tetapi bukan berarti
ayat tersebut tidak berbicara untuk masa kini. Kisah dan cerita tentang berat
dan panjangnya jalan memperjuangkan Islam bukan perkara yang jauh dari
kehidupan kita sehari-hari.
Apalagi kemajuan teknologi informasi menjadikan
kita begitu mudah mendapatkan kabar dan berita jihad dari bumi seberang.
Sementara di tanah air sendiri juga tidak kurang orang-orang yang harus rela
menjalani jalan panjang dan berat ini demi memperjuangkan Islam.
Jadi sekali lagi, membicarakan masalah
perjuangan, kita tidak sedang membicarakan yang remeh-temeh. Kita sedang
membicarakan sesuatu yang amat besar. Bahkan para Rasul pun sampai kepada suatu
titik putus asa.
حَتَّى إِذَا اسْتَيْأَسَ الرُّسُلُ وَظَنُّوا أَنَّهُمْ قَدْ كُذِبُوا
جَاءَهُمْ نَصْرُنَا فَنُجِّيَ مَنْ نَشَاءُ وَلا يُرَدُّ بَأْسُنَا عَنِ
الْقَوْمِ الْمُجْرِمِينَ
“Sehingga apabila para rasul tidak mempunyai
harapan lagi (tentang keimanan mereka) dan telah meyakini bahwa mereka telah
didustakan, datanglah kepada para rasul itu pertolongan Kami, lalu diselamatkan
orang-orang yang Kami kehendaki. Dan tidak dapat ditolak siksa Kami dari pada
orang-orang yang berdosa.” (QS: Yusuf: 110)
Jadi sehingga ketika para utusan itu sampai
kepada satu titik dimana sudah seharusnya secara manusiawi boleh berputus asa.
Tapi mereka tidak berputus asa. Maka datang kepada mereka pertolongan Allah dan
diselamatkan oleh-Nya.
Ketika menyadari bahwa jalan perjuangan itu
panjang dan sangat berat; ketika mengetahui bahwa jalan teresbut penuh dengan
onak dan duri, penuh dengan keringat, air mata dan darah, apakah kita akan
tetap menempuh?
Mungkin itu yang sering menjadi perenungan.
Namun, masalahnya apakah kita punya jalan lain? Atau dengan kata lain, apakah
Allah SWT memberikan jalan selain jalan yang berat dan panjang itu?
Allah SWT tidak memberikan pilihan lain. Namun
kita layak bergembira ketika Syaikh Athiyatullah Al-Libby rahimahullah
berkata:
إِنَّ طَرِيْقَ الْجِهَادِ طَوِيْلٌ وَشَاقٌّ وَلكِنَّهُ حُلْوٌ لِمَنْ
ذَاقَ حَلاَوَةَ الْإِيْمَانِ
“Sesungguhnya perjalanan perjuangan,
menegakkan din Allah SWT adalah perjuangan yang menempuh jalan yang panjang dan
berat. Tetapi perjalanan itu manis (hulwun) bagi barang siapa yang bisa merasakan
manisnya iman.”
Memang jalan ini berat. Tetapi kita tidak punya
pilihan lain. Kalau kita ketika sabar menapaki jalan ini, kita akan sampai
kepada ujung yang membahagiakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar