"Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu merasa kesakitan, maka sesungguhnya mereka pun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (an-Nisa’:104)"

Minggu, 08 Mei 2016

Jalan Panjang dan Berat



KIBLAT.NET — Dunia tempat kita tinggal ini telah mengalami berbagai pergantian zaman. Dalam setiap pergantian itu, selalu kata “perjuangan” hadir mengisi peristiwa demi peristiwa. Di kalangan aktivis Islam, kata “juang” sangat akrab, bahkan menjadi pintu masuk pertama untuk bergabung dalam amal-amal Islam berikutnya.
Kalimat berjuang itu mengandung pengertian yang bercabang. Ada yang memparodikannya sebagai: beras, baju dan uang. Ada juga yang sungguh-sungguh menterjemahkan berjuang itu sebagai:
اَلتَّضْحِيَّةُ وَالْفِدَاءُ لِأَجْلِ الْمَبَادِئِ
Yaitu pengorbanan untuk mempertahankan prinsip. Baik itu prinsip yang haq maupun prinsip yang bathil.
Konon Karl Marx—pejuag prinsip Materialisme Dialektik yang kemudian menjadi komunis—ketika mati, mati dalam keadaan miskin. Tidak punya apa-apa. Demikian pula orang-orang PKI pada era 65. Mereka  berjuang untuk mempertahankan prinsip Komunismenya. Ada yang dibunuh,  dipenjara. Bahkan tidak sedikit yang hilang tanpa berita sampai hari ini.
Kalau berjuang untuk prinsip yang bathil saja diperlukan pengorbanan, dapat kita bayangkan bagaimana kalau yang diperjuangkan itu adalah prinsip yang haq. Tentunya diperlukan pengorbanan yang jauh lebih besar. Tuntutan pengorbanannya jauh lebih besar daripada itu semua.
Semoga Allah merahmati Syekh Athiyatulloh Al-Liby rahimahullah. Ketika menyebut kata Al-Jihaad fi Sabilillah, beliau menyebutkan bahwa perjuangan di jalan Allah itu:
إِنَّ طَرِيْقَ الْجِهَادِ طَوِيْلٌ وَشَاقٌّ
“Sesungguhnya perjalanan jihad fi sabilillah itu suatu perjalanan yang jauh dan berat.”
Ustadz ‘Abdullah ‘Azzam rahimahullah menyebutkan perjalanan jihad itu sebagai Al-‘Uruq (keringat), Ad-Dumuu’ (airmata) dan Ad-Dimaa’ (darah). Sementara Sayid Quththub rahimahullah menyimpulkan dalam suatu kalimat:
إِيْمَانٌ وَجِهَادٌ وَ مِحْنَةٌ وَابْتِلاَءٌ وَصَبْرٌ وَثَبَاتٌ ثُمَّ يَجِيْءُ النَّصْرُ ثُمَّ يَجِيْءُ النِّعَمِ
“Iman, jihad, ujian dan cobaan, kesabaran, keteguhan, kemudian datang pertolongan, kemudian datang kenikmatan.”
Ya, ujian dan kesengsaraan. Jika berhenti sampai di sini saja, setelah itu tidak melanjutkan perjalanan, maka dia akan rugi. Karena ketika melanjutkan perjalanan dengan As-Shabr (kesabaran) dan Ats-Tsabat (keteguhan) datanglah An-Nashr (pertolongan) yang disusul dengan An-Ni’am (kenikmatan-kenikmatan).
Jadi, kalau kita berbicara tema kejuangan, sesungguhnya kita sedang berbicara sebuah perkara yang besar. Lebih besar ketimbang membicarakan apa menu makanan yang hendak kita santap hari ini. Pun lebih besar daripada membicarakan tentang hak dan keadilan dalam sebuah keluarga poligami, misalnya.
Kita membicarakan suatu qodhiyah yang lebih besar dan lebih penting. Yang perjalanannya sangat panjang dan penuh dengan beban-beban yang berat. Di dalam perjalanannya ada keringat, airmata dan darah. Ada penjara, ada pembunuhan, ada pula penghilangan orang dan harta. Sampai sekarang, berapa banyak ikhwan kita yang hilang begitu saja, tanpa bisa ditanya kepada siapa.
Ujian itu merupakan suatu keniscayaan.
Allah SWT berfirman:
الم. أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ. وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Alif laam mim. Apakah manusia mengira bahwa mereka itu dibiarkan apabila mereka mengucapkan ‘kami beriman’, kemudian mereka tidak diuji? Dan benar-benar telah diuji atau benar-benar telah Kami uji. Allah. Benar-benar Allah. Benar-benar telah Kami uji orang sebelum mereka, maka Allah Mengetahui siapa di antara mereka yang sungguh-sungguh imannya (shiddiq) dan siapa di antara mereka yang dusta.” (QS. Al-Ankabut)
Beratnya ujian yang dihadapi oleh mereka yang berjuang demi Islam digambarkan oleh Allah SWT dalam ayat yang lain:
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِيْنَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسآءُ وَالضَّرَّآءُ وَزُلْزِلُوْا حَتَّى يَقُوْلَ الرَّسُوْلُ وَالَّذِيْنَ آمَنُوْا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللّهِ أَلآ إِنَّ نَصْرَ اللّهِ قَرِيْبٌ (البقرة: 214).
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (Al-Baqarah: 214)
Mereka tertimpa kegoncangan. Sebelumnya mereka juga sudah menerima penderitaan yang lain. Sampai akhirnya mengalami kegoncangan yang demikian dahsyat, sampai-sampai mereka pun menjerit, “Kapan pertolongan Allah datang?” Ya, mereka sampai menjerit. Akhirnya Allah mengabarkan bahwa pertolongannya itu dekat.
Memang pertolongan Allah itu dekat. Tetapi perjalanannya yang jauh, panjang dan berat.
Ayat tersebut memang menceritakan kondisi yang terjadi pada para shahabat Nabi Muhammad SAW di masa lalu. Tetapi bukan berarti ayat tersebut tidak berbicara untuk masa kini. Kisah dan cerita tentang berat dan panjangnya jalan memperjuangkan Islam bukan perkara yang jauh dari kehidupan kita sehari-hari.
Apalagi kemajuan teknologi informasi menjadikan kita begitu mudah mendapatkan kabar dan berita jihad dari bumi seberang. Sementara di tanah air sendiri juga tidak kurang orang-orang yang harus rela menjalani jalan panjang dan berat ini demi memperjuangkan Islam.
Jadi sekali lagi, membicarakan masalah perjuangan, kita tidak sedang membicarakan yang remeh-temeh. Kita sedang membicarakan sesuatu yang amat besar. Bahkan para Rasul pun sampai kepada suatu titik putus asa.
حَتَّى إِذَا اسْتَيْأَسَ الرُّسُلُ وَظَنُّوا أَنَّهُمْ قَدْ كُذِبُوا جَاءَهُمْ نَصْرُنَا فَنُجِّيَ مَنْ نَشَاءُ وَلا يُرَدُّ بَأْسُنَا عَنِ الْقَوْمِ الْمُجْرِمِينَ
“Sehingga apabila para rasul tidak mempunyai harapan lagi (tentang keimanan mereka) dan telah meyakini bahwa mereka telah didustakan, datanglah kepada para rasul itu pertolongan Kami, lalu diselamatkan orang-orang yang Kami kehendaki. Dan tidak dapat ditolak siksa Kami dari pada orang-orang yang berdosa.” (QS: Yusuf: 110)
Jadi sehingga ketika para utusan itu sampai kepada satu titik dimana sudah seharusnya secara manusiawi boleh berputus asa. Tapi mereka tidak berputus asa. Maka datang kepada mereka pertolongan Allah dan diselamatkan oleh-Nya.
Ketika menyadari bahwa jalan perjuangan itu panjang dan sangat berat; ketika mengetahui bahwa jalan teresbut penuh dengan onak dan duri, penuh dengan keringat, air mata dan darah, apakah kita akan tetap menempuh?
Mungkin itu yang sering menjadi perenungan. Namun, masalahnya apakah kita punya jalan lain? Atau dengan kata lain, apakah Allah SWT memberikan jalan selain jalan yang berat dan panjang itu?
Allah SWT tidak memberikan pilihan lain. Namun kita layak bergembira ketika Syaikh Athiyatullah Al-Libby rahimahullah berkata:
إِنَّ طَرِيْقَ الْجِهَادِ طَوِيْلٌ وَشَاقٌّ وَلكِنَّهُ حُلْوٌ لِمَنْ ذَاقَ حَلاَوَةَ الْإِيْمَانِ
“Sesungguhnya perjalanan perjuangan, menegakkan din Allah SWT adalah perjuangan yang menempuh jalan yang panjang dan berat. Tetapi perjalanan itu manis (hulwun) bagi barang siapa yang bisa merasakan manisnya iman.”
Memang jalan ini berat. Tetapi kita tidak punya pilihan lain. Kalau kita ketika sabar menapaki jalan ini, kita akan sampai kepada ujung yang membahagiakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar