"Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu merasa kesakitan, maka sesungguhnya mereka pun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (an-Nisa’:104)"

Selasa, 03 Mei 2016

Menjadi Generasi Rabbani Penerus Perjuangan Para Nabi



(Manjanik.com) – Menjadi generasi rabbani tentu menjadi sebuah cita-cita dan idaman setiap mukmin sejati, karena generasi rabbani adalah satu satunya generasi yang diinginkan dan diharapkan para nabi lewat dakwah mereka. Maka sudah apsti pula bahwa generasi inilah yang mampu memikul beban meneruskan perjuangan para nabi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ(٧٩)
“Tidak layak bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.” Akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS. Al ‘Imran 3 : 79)
Shahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjelaskan tentang sebab turunnya ayat diatas:
قال ابنُ عَبَّاس وجماعةٌ من المفسِّرين : بل الإشارةُ إلى النبيِّ صلى الله عليه وسلم ؛ وسببُ نزولِ الآيةِ أنَّ أبا رافِعٍ القُرَظِيَّ قال للنبيِّ صلى الله عليه وسلم حِينَ اجتمعت الأحبارُ من يهودَ ، والوَفْدُ مِنْ نصارى نَجْرَانَ : يَا مُحَمَّدُ ، إنَّمَا تُرِيدُ أَنْ نَعْبُدَكَ وَنَتَّخِذَكَ إلَهاً ، كَمَا عَبَدَتِ النصارى عيسى ، فَقَالَ الرَّئِيسُ مِنْ نصارى نَجْرَانَ : أَوَ ذَاكَ تُرِيدُ يَا مُحَمَّدُ ، وَإلَيْهِ تَدْعُونَا؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم : ” مَعَاذَ اللَّهِ! مَا بِذَلِكَ أُمِرْتُ ، وَلاَ إلَيْهِ دَعَوْتُ، فنزلَتِ الآية
“Ibnu Abbas dan para mufasir lainnya menerangkan sebab turun ayat ini adalah ketika pendeta Yahudi dan kelompok Nashrani Najran berkumpul di hadapan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Rafi al-Qurazhi berkata: hai Muhammad sepertinya engkau menghendaki agar kami menyembahmu dan mempertuhankanmu seperti kaum Nashara menyembah Isa? Pimpinan Nashrani Najran berkata: Ataukah anda berkehendak demikian? Kepada itukah engkau menyeru kami? Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Aku berlindung kepada Allah! Aku tidak diperintah untuk itu. Aku tidak menyeru untuh hal yang demikian! Tidak lama kemudian turunlah ayat ini. Demikian diriwayatkan oleh Ibn Athiyah, Abu Hayan dan al-Tsa’albi.” [al-Muharrar al-Wajiz, I hal. 449, Tafsir al-Tsa’alibi, I hal.222 , al-Bahr al-Muhith, III hal.293]
Dari ayat dan asbabun-nuzulnya ayat di atas jelaslah bahwa ayat ini turun untuk menjawab tuduhan keji orang-orang Kafir Yahudi dan Nashrani yang menuduh Rasulullah, bahwasanya beliau mengajak manusia untuk beribadah dan mengagungkan diri beliau.
Maka Allah pun membantah tuduhan murah mereka, dan menjelaskan bahwa tidaklah para rasul itu diutus dan diberi kitab kecuali untuk mengajak manusia menjadi rabbaniyyun dan menetapkan bahwa generasi rabbani itulah yang diinginkan dan diharapkan para rasul termasuk Rasulullah Muhammad dalam dakwahnya.
Lalu apa dan siapakah sebenarnya generasi rabbani itu? Sampai-sampai ada dan tumbuhnya mereka menjadi harapan dan tujuan para nabi.
Dalam Lisanul ‘Arab disebutkan, “Ar-Rabbani adalah hamba yang mempunyai pengetahuan tentang Allah. Dia adalah ulama yang mengajarkan ilmu yang ringan-ringan sebelum ilmu yang sulit-sulit. Dia adalah seorang ulama yang mantap ilmu dan agamanya”.
Imam al-Qurthubi dalam tafsir al-Jami’ liahkamil-Qur’an menulis, “Ar-Rabbani adalah penisbatan kepada ar-Rabb. Dia adalah orang yang mengajarkan ilmu yang ringan-ringan sebelum yang berat. Dia adalah ulama ahli agama yang mengamalkan ilmunya”.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menegaskan:
كُونُوا رَبَّانِيِّينَ حُلَمَاءَ فُقَهَاءَ وَيُقَالُ الرَّبَّانِيُّ الَّذِي يُرَبِّي النَّاسَ بِصِغَارِ الْعِلْمِ قَبْلَ كِبَارِهِ
“Jadilah rabbaniyin yaitu orang-orang yang penyantun, bijaksana, dan faham betul tentang agama. Rabbani adalah yang mengurus dan mendidik manusia dengan berbagai ilmu sejak dini”.
Jadi kesimpulan dari keterangan para ulama diatas bahwa rabbaniyyun (generasi robbani) adalah hamba-hamba yang begitu dekat hubungannya dengan Allah, dengan tunduk dan patuh hanya kepadanya, selalu mentadabburi kitabnya, mengamalkannya, serta mengajarkan dan mendakwahkannya.
Begitu beratnya tanggungan para generasi rabbani, hidupnya semua digantungkan dan dicurahkan hanya kepada Rabb-Nya ‘Azza wa Jalla,dikarenakan merekalah para pemikul beban perjuangan para nabinya.
Karenanya generasi rabbani didalam Al-Qur’an dan sunnah memiliki karakteristik dan kriteria khusus yang dengannya semakin kuatlah pijakan iman dan perjuangannya, serta dengannya pula dibedakan antara generasi rabbani dan generasi syathoni, diantara karakteristik serta kriteria generasi rabbani adalah:
1.   Salimul Aqidah atau Aqidah Salimah (memiliki aqidah yang lurus dan selamat)
Aqidah adalah pokok dan pondasi utama segala-galanya bagi setiap Muslim, karena baik atau buruk serta sempurna atau rusak amal seorang Muslim tergantung aqidahnya. Tentunya generasi rabbani adalah generasi yang selalu menjaga dan mensucikan aqidahnya kepada Rabb-Nya.
قل إن صلاتي ونسكي ومحياي ومماتي للّه رب العالمين
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku, semua bagi Allah tuhan semesta alam”. (QS. Al-An’aam 6 : 162). Aqidah yang lurus inilah yang menjadi awal dan tujuan utama dakwah para nabi.
2.   Shohihul Ibadah (Ibadahnya Benar)
Generasi rabbani adalah generasi yang menjaga ibadahnya untuk selalu benar. Sedangkan syarat benarnya ibadah seorang mukmin adalah 2 hal, yaitu:
-Ikhlas
-Ittiba’ yaitu ada dasar dari Al-Qur’an dan Sunnah serta ada contohnya dari Rasulullah. Karenanya, siapa yang ibadahnya tidak mengandung ikhlas dan ittiba’, sungguh telah rusak dan sesatlah ibadah hamba tersebut.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu”. (QS. Muhammad 47 : 33)
Bagaimana mungkin generasi rabbani akan merusak ibadahnya? Sedangkan mereka adalah orang-orang yang meridhai Rasulullah, sehingga Rasulullah-pun ridha terhadap mereka.
3.   Matinul Khuluq (akhlaq yang kokoh dan mulia)
Berakhlaq mulia dan berbudi pekerti yang baik adalah hal yang harus ada pada diri seorang mukmin, dikarenakan akhlaq mulia adalah hiasan bagi seorang mukmin, tentunya indah dan menawannya diri seorang Mukmin adalah dilihat dari akhlaqnya. Maka Ummul Mukminin ‘Aisyah ketika ditanya tentang akhlaq Rasulullah, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menjawab:
كان خلقه القرآن
“Akhlaq beliau adalah Al-Qur’an”.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sungguh engkau (Muhammad) benar benar memilik akhlaq yang agung”. (QS. Al-Qolam 68 : 4). Maka sungguh keagungan akhlaq seorang Mukmin adalah dengan menghiasi dirinya bersama Al Qur’an.
4.   Mutsaqqoful Fikri (memiliki wawasan yang luas)
Seorang Mukmin sejati hendaknya memiliki wawasan yang luas dalam hal ukhrowi dan duniawi, karena dengan wawasannya tersebut ia dapat mengajak kepada kebaikan serta menepis dan menghalau segala pintu kebatilan.
Karenanya, uswah hasanah kita yakni Rasulullah Muhammad memiliki sifat khusus yaitu fathonah (cerdas dan berwawasan luas). Maka sudah semestinya sebagai penerus dakwah nabi, setiap Muslim memiliki sifat dan sikap mutsaqqoful fikri.
Oleh karena itu, tidaklah sama orang yang mengerti dan orang yang tidak mengerti, karena orang yang mengertilah yang dapat menerima pelajaran. Allah berfirman,
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ ﴿٩﴾
“Katakanlah: “samakah orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”. (QS. Az-Zumar 39 : 9)
5.   Qowiyyul Jismi (memiliki jasmani yang kuat)
Seorang Mukmin rabbani haruslah memiliki daya tahan tubuh sehingga dapat melaksanakan ibadah secara optimal dengan fisiknya yang kuat. Shalat, puasa, zakat dan haji merupakan amalan di dalam Islam yang harus dilaksanakan dengan kondisi fisik yang sehat dan kuat. Apalagi berjihad di jalan Allah dan bentuk-bentuk perjuangan lainnya. Oleh karena itu, kesehatan jasmani harus mendapat perhatian seorang Mukmin, dikarenakan pencegahan dari penyakit jauh lebih utama daripada pengobatan.
Meskipun demikian, sakit tetap kita anggap sebagai sesuatu yang wajar bila hal itu kadang-kadang terjadi. Namun jangan sampai seorang Muslim sakit-sakitan. Bahkan Rasulullah menekankan pentingnya kekuatan jasmani seorang Muslim seperti sabda beliau yang artinya: “Mukmin yang kuat lebih aku cintai daripada mukmin yang lemah” (HR. Muslim). Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan hamba-hambaNya untuk mempersiapkan kekuatan guna meneror musuh Allah dan musuh kaum Mukminin. Allah berfirman,
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآَخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ..
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya: sedang Allah mengetahuinya,..”. (QS. Al-Anfal 8 : 60)
6.   Mujahadatul Linafsihi (berjuang melawan hawa nafsu)
Hal ini penting bagi seorang Mukmin karena setiap manusia memiliki kecenderungan pada yang baik dan yang buruk. Melaksanakan kecenderungan pada yang baik dan menghindari yang buruk amat menuntut adanya kesungguhan.
Kesungguhan itu akan ada manakala seseorang berjuang dalam melawan hawa nafsu. Hawa nafsu yang ada pada setiap diri manusia harus diupayakan tunduk pada ajaran Islam. Rasulullah bersabda yang artinya: “Tidak beriman seseorang dari kamu sehingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (ajaran Islam)”. (HR. Hakim)
7.   Harishun ‘Ala Waqtihi (disiplin menggunakan waktu)
Harishun ‘ala Waqtihi merupakan faktor penting bagi orang mukmin. Hal ini karena waktu mendapat perhatian yang begitu besar dari Allah dan Rasul-Nya. Allah banyak bersumpah di dalam Al-Qur’an dengan menyebut nama waktu seperti wal-fajri, wad-dhuha, wal-’asri, wallaili dan seterusnya.
Waktu merupakan sesuatu yang cepat berlalu dan tidak akan pernah kembali lagi. Oleh karena itu setiap Mukmin rabbani amat dituntut untuk disiplin mengelola waktunya dengan baik sehingga waktu berlalu dengan penggunaan yang efektif, tak ada yang sia-sia apalagi untuk kemaksiatan.
Maka diantara yang disinggung oleh Nabi Muhammad adalah memanfaatkan momentum lima perkara sebelum datang lima perkara, yakni waktu hidup sebelum mati, sehat sebelum datang sakit, muda sebelum tua, senggang sebelum sibuk dan kaya sebelum miskin.
8.   Munazhzhamun fi Syuunihi (teratur dalam suatu urusan)
Munazhzhaman fi Syuunihi termasuk kepribadian seorang Mukmin yang ditekankan oleh Al-Qur’an maupun sunnah. Dimana seorang Mukmin bisa menempatkan segala urusan dan kesibukannya sesuai dengan tempat dan kadarnya, sehingga akan lenyap dan hilanglah dzalim pada dirinya.
9.   Qodirun ‘Alal-Kasbi (memiliki kemampuan usaha sendiri atau mandiri)
Qodirun ‘alal kasbi merupakan ciri lain yang harus ada pada diri seorang Mukmin. Ini merupakan sesuatu yang amat diperlukan. Mempertahankan kebenaran dan berjuang menegakkannya baru bisa dilaksanakan manakala seseorang memiliki kemandirian terutama dari segi ekonomi.
Tak sedikit seseorang mengorbankan aqidah yang telah dianutnya karena tidak memiliki kemandirian dari segi ekonomi. Karenanya para anbiya’ adalah orang-orang yang mandiri dalam hidupnya. Begitu pula Mukmin rabbani adalah orang yang mandiri dalam hidupnya karena mencontoh kemandirian para nabi, terlebih mereka adalah orang-orang yang terdepan dalam memikul beban dien dan umat ini.
10.       Nafi’un Lighoirihi (bermanfaat bagi orang lain)
Manfaat yang dimaksud disini adalah manfaat yang baik sehingga dimanapun dia berada, orang disekitarnya merasakan keberadaannya. Jangan sampai keberadaan seorang Mukmin tidak menggenapkan dan ketiadaannya tidak mengganjilkan.
Ini berarti setiap Mukmin itu harus selalu mempersiapkan dirinya dan berupaya semaksimal untuk bisa bermanfaat dan mengambil peran yang baik dalam umatnya. Rasulullah bersabda:
عَنِ جابر، رَضِيَ الله عَنْهُمَا، قَالَ : قال رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم: خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Jabir radhiyallau ‘anhuma bercerita bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.” (Hadits dihasankan oleh al-Albani di dalam Shahihul Jami’ (no. 3289)
Sedangkan manfaat yang baik adalah memberikan warna yang baik kepada umat dengan kembali kepada syari’at Islam.
Demikian tadi kriteria dan sifat untuk menjadi seorang Mukmin rabbani. Tentunya sifat-sifat dan derajat generasi rabbani tidak akan tercapai kecuali dengan kesungguhan dan pengorbanan yang tinggi. Allah berfirman,
“Dan orang-orang yang berjihad (bersungguh-sungguh) untuk (mencari keridhaan) kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankabut 29 : 69).Wallahu Ta’ala A’lam.. [Ustadz Qutaibah]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar