(Manjanik.com) – Menjadi generasi rabbani tentu menjadi sebuah
cita-cita dan idaman setiap mukmin sejati, karena generasi rabbani adalah satu
satunya generasi yang diinginkan dan diharapkan para nabi lewat dakwah mereka.
Maka sudah apsti pula bahwa generasi inilah yang mampu memikul beban meneruskan
perjuangan para nabi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ(٧٩)
“Tidak layak bagi seseorang manusia yang Allah
berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada
manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.”
Akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena
kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS. Al ‘Imran 3 : 79)
Shahabat
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjelaskan tentang sebab turunnya ayat
diatas:
قال ابنُ عَبَّاس وجماعةٌ من المفسِّرين : بل الإشارةُ إلى النبيِّ صلى الله عليه وسلم ؛ وسببُ نزولِ الآيةِ أنَّ أبا رافِعٍ القُرَظِيَّ قال للنبيِّ صلى الله عليه وسلم حِينَ اجتمعت الأحبارُ من يهودَ ، والوَفْدُ مِنْ نصارى نَجْرَانَ : يَا مُحَمَّدُ ، إنَّمَا تُرِيدُ أَنْ نَعْبُدَكَ وَنَتَّخِذَكَ إلَهاً ، كَمَا عَبَدَتِ النصارى عيسى ، فَقَالَ الرَّئِيسُ مِنْ نصارى نَجْرَانَ : أَوَ ذَاكَ تُرِيدُ يَا مُحَمَّدُ ، وَإلَيْهِ تَدْعُونَا؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم : ” مَعَاذَ اللَّهِ! مَا بِذَلِكَ أُمِرْتُ ، وَلاَ إلَيْهِ دَعَوْتُ ” ، فنزلَتِ الآية
“Ibnu
Abbas dan para mufasir lainnya menerangkan sebab turun ayat ini adalah ketika
pendeta Yahudi dan kelompok Nashrani Najran berkumpul di hadapan Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam, Abu Rafi al-Qurazhi
berkata: hai Muhammad sepertinya engkau menghendaki agar kami menyembahmu dan
mempertuhankanmu seperti kaum Nashara menyembah Isa? Pimpinan Nashrani Najran
berkata: Ataukah anda berkehendak demikian? Kepada itukah engkau menyeru kami?
Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
Aku berlindung kepada Allah! Aku tidak diperintah untuk itu. Aku tidak menyeru
untuh hal yang demikian! Tidak lama kemudian turunlah ayat ini. Demikian
diriwayatkan oleh Ibn Athiyah, Abu Hayan dan al-Tsa’albi.” [al-Muharrar
al-Wajiz, I hal. 449, Tafsir al-Tsa’alibi, I hal.222 , al-Bahr al-Muhith, III
hal.293]
Dari
ayat dan asbabun-nuzulnya ayat di atas jelaslah bahwa ayat ini turun untuk
menjawab tuduhan keji orang-orang Kafir Yahudi dan Nashrani yang menuduh
Rasulullah, bahwasanya beliau mengajak manusia untuk beribadah dan mengagungkan
diri beliau.
Maka
Allah pun membantah tuduhan murah mereka, dan menjelaskan bahwa tidaklah para
rasul itu diutus dan diberi kitab kecuali untuk mengajak manusia menjadi
rabbaniyyun dan menetapkan bahwa generasi rabbani itulah yang diinginkan dan
diharapkan para rasul termasuk Rasulullah Muhammad dalam dakwahnya.
Lalu
apa dan siapakah sebenarnya generasi rabbani itu? Sampai-sampai ada dan
tumbuhnya mereka menjadi harapan dan tujuan para nabi.
Dalam
Lisanul ‘Arab disebutkan, “Ar-Rabbani adalah hamba yang mempunyai pengetahuan
tentang Allah. Dia adalah ulama yang mengajarkan ilmu yang ringan-ringan
sebelum ilmu yang sulit-sulit. Dia adalah seorang ulama yang mantap ilmu dan
agamanya”.
Imam
al-Qurthubi dalam tafsir al-Jami’ liahkamil-Qur’an menulis, “Ar-Rabbani adalah
penisbatan kepada ar-Rabb. Dia adalah orang yang mengajarkan ilmu yang
ringan-ringan sebelum yang berat. Dia adalah ulama ahli agama yang mengamalkan
ilmunya”.
Ibnu
Abbas radhiyallahu
‘anhuma menegaskan:
كُونُوا رَبَّانِيِّينَ حُلَمَاءَ فُقَهَاءَ وَيُقَالُ الرَّبَّانِيُّ الَّذِي يُرَبِّي النَّاسَ بِصِغَارِ الْعِلْمِ قَبْلَ كِبَارِهِ
“Jadilah rabbaniyin yaitu orang-orang yang
penyantun, bijaksana, dan faham betul tentang agama. Rabbani adalah yang
mengurus dan mendidik manusia dengan berbagai ilmu sejak dini”.
Jadi
kesimpulan dari keterangan para ulama diatas bahwa rabbaniyyun (generasi
robbani) adalah hamba-hamba yang begitu dekat hubungannya dengan Allah, dengan
tunduk dan patuh hanya kepadanya, selalu mentadabburi kitabnya, mengamalkannya,
serta mengajarkan dan mendakwahkannya.
Begitu
beratnya tanggungan para generasi rabbani, hidupnya semua digantungkan dan
dicurahkan hanya kepada Rabb-Nya ‘Azza wa Jalla,dikarenakan merekalah para
pemikul beban perjuangan para nabinya.
Karenanya
generasi rabbani didalam Al-Qur’an dan sunnah memiliki karakteristik dan
kriteria khusus yang dengannya semakin kuatlah pijakan iman dan perjuangannya,
serta dengannya pula dibedakan antara generasi rabbani dan generasi syathoni, diantara
karakteristik serta kriteria generasi rabbani adalah:
1. Salimul Aqidah atau Aqidah Salimah (memiliki
aqidah yang lurus dan selamat)
Aqidah
adalah pokok dan pondasi utama segala-galanya bagi setiap Muslim, karena baik
atau buruk serta sempurna atau rusak amal seorang Muslim tergantung aqidahnya.
Tentunya generasi rabbani adalah generasi yang selalu menjaga dan mensucikan
aqidahnya kepada Rabb-Nya.
قل إن صلاتي ونسكي ومحياي ومماتي للّه رب العالمين
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan
matiku, semua bagi Allah tuhan semesta alam”. (QS. Al-An’aam 6 : 162). Aqidah yang lurus inilah yang menjadi
awal dan tujuan utama dakwah para nabi.
2. Shohihul Ibadah (Ibadahnya Benar)
Generasi
rabbani adalah generasi yang menjaga ibadahnya untuk selalu benar. Sedangkan
syarat benarnya ibadah seorang mukmin adalah 2 hal, yaitu:
-Ikhlas
-Ittiba’
yaitu ada dasar dari Al-Qur’an dan Sunnah serta ada contohnya dari Rasulullah.
Karenanya, siapa yang ibadahnya tidak mengandung ikhlas dan ittiba’, sungguh
telah rusak dan sesatlah ibadah hamba tersebut.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada
Allah dan taatlah kepada rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala)
amal-amalmu”. (QS. Muhammad 47 : 33)
Bagaimana
mungkin generasi rabbani akan merusak ibadahnya? Sedangkan mereka adalah
orang-orang yang meridhai Rasulullah, sehingga Rasulullah-pun ridha terhadap
mereka.
3. Matinul Khuluq (akhlaq yang kokoh dan mulia)
Berakhlaq
mulia dan berbudi pekerti yang baik adalah hal yang harus ada pada diri seorang
mukmin, dikarenakan akhlaq mulia adalah hiasan bagi seorang mukmin, tentunya
indah dan menawannya diri seorang Mukmin adalah dilihat dari akhlaqnya. Maka
Ummul Mukminin ‘Aisyah ketika ditanya tentang akhlaq Rasulullah, ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha menjawab:
كان خلقه القرآن
“Akhlaq
beliau adalah Al-Qur’an”.
Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sungguh engkau (Muhammad) benar benar
memilik akhlaq yang agung”. (QS. Al-Qolam 68 : 4).
Maka sungguh keagungan akhlaq seorang Mukmin adalah dengan menghiasi dirinya
bersama Al Qur’an.
4. Mutsaqqoful Fikri (memiliki wawasan yang luas)
Seorang
Mukmin sejati hendaknya memiliki wawasan yang luas dalam hal ukhrowi dan duniawi,
karena dengan wawasannya tersebut ia dapat mengajak kepada kebaikan serta
menepis dan menghalau segala pintu kebatilan.
Karenanya,
uswah hasanah kita yakni Rasulullah Muhammad memiliki sifat khusus yaitu
fathonah (cerdas dan berwawasan luas). Maka sudah semestinya sebagai penerus
dakwah nabi, setiap Muslim memiliki sifat dan sikap mutsaqqoful fikri.
Oleh
karena itu, tidaklah sama orang yang mengerti dan orang yang tidak mengerti,
karena orang yang mengertilah yang dapat menerima pelajaran. Allah berfirman,
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ ﴿٩﴾
“Katakanlah: “samakah orang yang mengetahui
dengan orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang-orang yang berakallah
yang dapat menerima pelajaran”. (QS. Az-Zumar 39 : 9)
5. Qowiyyul Jismi (memiliki jasmani yang kuat)
Seorang
Mukmin rabbani haruslah memiliki daya tahan tubuh sehingga dapat melaksanakan
ibadah secara optimal dengan fisiknya yang kuat. Shalat, puasa, zakat dan haji
merupakan amalan di dalam Islam yang harus dilaksanakan dengan kondisi fisik
yang sehat dan kuat. Apalagi berjihad di jalan Allah dan bentuk-bentuk
perjuangan lainnya. Oleh karena itu, kesehatan jasmani harus mendapat perhatian
seorang Mukmin, dikarenakan pencegahan dari penyakit jauh lebih utama daripada
pengobatan.
Meskipun
demikian, sakit tetap kita anggap sebagai sesuatu yang wajar bila hal itu
kadang-kadang terjadi. Namun jangan sampai seorang Muslim sakit-sakitan. Bahkan
Rasulullah menekankan pentingnya kekuatan jasmani seorang Muslim seperti sabda
beliau yang artinya: “Mukmin yang kuat lebih aku cintai daripada mukmin yang
lemah” (HR. Muslim). Allah Subhanahu wa
Ta’ala memerintahkan
hamba-hambaNya untuk mempersiapkan kekuatan guna meneror musuh Allah dan musuh
kaum Mukminin. Allah berfirman,
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآَخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ..
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka
kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk
berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan
musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya: sedang
Allah mengetahuinya,..”. (QS. Al-Anfal 8 : 60)
6. Mujahadatul Linafsihi (berjuang melawan hawa
nafsu)
Hal
ini penting bagi seorang Mukmin karena setiap manusia memiliki kecenderungan
pada yang baik dan yang buruk. Melaksanakan kecenderungan pada yang baik dan
menghindari yang buruk amat menuntut adanya kesungguhan.
Kesungguhan
itu akan ada manakala seseorang berjuang dalam melawan hawa nafsu. Hawa nafsu
yang ada pada setiap diri manusia harus diupayakan tunduk pada ajaran Islam.
Rasulullah bersabda yang artinya: “Tidak beriman seseorang dari kamu
sehingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (ajaran
Islam)”. (HR. Hakim)
7. Harishun ‘Ala Waqtihi (disiplin menggunakan
waktu)
Harishun
‘ala Waqtihi merupakan faktor penting bagi orang mukmin. Hal ini karena waktu
mendapat perhatian yang begitu besar dari Allah dan Rasul-Nya. Allah banyak
bersumpah di dalam Al-Qur’an dengan menyebut nama waktu seperti wal-fajri,
wad-dhuha, wal-’asri, wallaili dan seterusnya.
Waktu
merupakan sesuatu yang cepat berlalu dan tidak akan pernah kembali lagi. Oleh
karena itu setiap Mukmin rabbani amat dituntut untuk disiplin mengelola
waktunya dengan baik sehingga waktu berlalu dengan penggunaan yang efektif, tak
ada yang sia-sia apalagi untuk kemaksiatan.
Maka
diantara yang disinggung oleh Nabi Muhammad adalah memanfaatkan momentum lima
perkara sebelum datang lima perkara, yakni waktu hidup sebelum mati, sehat
sebelum datang sakit, muda sebelum tua, senggang sebelum sibuk dan kaya sebelum
miskin.
8. Munazhzhamun fi Syuunihi (teratur dalam suatu
urusan)
Munazhzhaman
fi Syuunihi termasuk kepribadian seorang Mukmin yang ditekankan oleh Al-Qur’an
maupun sunnah. Dimana seorang Mukmin bisa menempatkan segala urusan dan
kesibukannya sesuai dengan tempat dan kadarnya, sehingga akan lenyap dan
hilanglah dzalim pada dirinya.
9. Qodirun ‘Alal-Kasbi (memiliki kemampuan usaha
sendiri atau mandiri)
Qodirun
‘alal kasbi merupakan ciri lain yang harus ada pada diri seorang Mukmin. Ini
merupakan sesuatu yang amat diperlukan. Mempertahankan kebenaran dan berjuang
menegakkannya baru bisa dilaksanakan manakala seseorang memiliki kemandirian
terutama dari segi ekonomi.
Tak
sedikit seseorang mengorbankan aqidah yang telah dianutnya karena tidak
memiliki kemandirian dari segi ekonomi. Karenanya para anbiya’ adalah
orang-orang yang mandiri dalam hidupnya. Begitu pula Mukmin rabbani adalah
orang yang mandiri dalam hidupnya karena mencontoh kemandirian para nabi,
terlebih mereka adalah orang-orang yang terdepan dalam memikul beban dien dan umat
ini.
10. Nafi’un Lighoirihi (bermanfaat bagi orang
lain)
Manfaat
yang dimaksud disini adalah manfaat yang baik sehingga dimanapun dia berada,
orang disekitarnya merasakan keberadaannya. Jangan sampai keberadaan seorang
Mukmin tidak menggenapkan dan ketiadaannya tidak mengganjilkan.
Ini
berarti setiap Mukmin itu harus selalu mempersiapkan dirinya dan berupaya
semaksimal untuk bisa bermanfaat dan mengambil peran yang baik dalam umatnya.
Rasulullah bersabda:
عَنِ جابر، رَضِيَ الله عَنْهُمَا، قَالَ : قال رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم: خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Jabir
radhiyallau ‘anhuma bercerita bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi
manusia.” (Hadits dihasankan
oleh al-Albani di dalam Shahihul Jami’ (no. 3289)
Sedangkan
manfaat yang baik adalah memberikan warna yang baik kepada umat dengan kembali
kepada syari’at Islam.
Demikian
tadi kriteria dan sifat untuk menjadi seorang Mukmin rabbani. Tentunya
sifat-sifat dan derajat generasi rabbani tidak akan tercapai kecuali dengan
kesungguhan dan pengorbanan yang tinggi. Allah berfirman,
“Dan orang-orang yang berjihad
(bersungguh-sungguh) untuk (mencari keridhaan) kami, benar- benar akan Kami
tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar
beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankabut 29 : 69).Wallahu Ta’ala A’lam.. [Ustadz
Qutaibah]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar