Oleh
: Syaikh Mujahid Abu Mus‘ab Al-Zarqawi rh.
Hal ini bisa kita simpulkan dari dua
sisi:
Pertama: Alloh tidak mensyariatkan agama ini
kecuali untuk diamalkan dan dalam rangka menguji para hamba dengan berbagai
beban-beban tugas. Sementara hamba adalah makhluk yang diatur tuhannya,
sehingga mashlahat berupa menyambutnya hamba terhadap tugas-tugas robbnya dan
berpegang teguh kepadanya adalah inti dan esensi dari mashlahat yang disukai
dan diridhoi Alloh pada diri mereka.
Nash-nash yang memperkuat prinsip di
atas sangatlah banyak, sebab ini merupakan pondasi sekaligus inti bangunan
Islam, dan tujuan utama dari ibadah. Alloh Ta‘ala berfirman:
وَمَاكَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَمُؤْمِنَةٍ إِذَا
قَضَى اللهُ وَرَسُولَهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةَ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن
يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُّبِينًا
“Dan tidak patut bagi orang-orang beriman, laki-laki
maupun perempuan, apabila Alloh dan Rosul-Nya memutuskan suatu urusan lalu ada
pilihan lain bagi mereka pada urusan mereka. Dan barangsiapa bermaksiat kepada
Alloh dan Rosul-Nya, sungguh ia sesat dengan kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Ahzâb: 36)
Ibnu Katsîr Rahimahulloh berkata,
“Ayat ini berlaku umum pada semua urusan. Sebab apabila Alloh dan rosul-Nya
memutuskan sesuatu, tidak ada seorang pun yang boleh menyelisihinya, tidak
seorang pun boleh memilih, mengajukan ide, atau pendapat (yang berbeda).
Sebagaimana firman Alloh:
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَيُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ
فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ
وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidaklah
beriman sehingga mereka menjadikan kamu sebagai penentu hukum dalam setiap
perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak lagi merasa keberatan
di dalam hati mereka dan mereka menerima dengan sepasrah-pasrahnya.” (QS. An-Nisâ’: 65).
Makanya Alloh bersikap keras terhadap
siapa yang menyelisihi ketentuan ini dengan berfirman:
وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ ضَلَّ
ضَلاَلاً مُبِيْنًا
“Dan barangsiapa bermaksiat kepada Alloh dan Rosul-Nya,
sungguh ia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.”
Seperti firman-Nya juga,
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ
أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaknya orang-orang yang menyelisihi perintah-Nya
takut kalau diri mereka tertimpa fitnah atau tertimpa azab yang pedih.” (QS. An-Nûr: 63)
Ibnu `l-Qoyyim Rahimahulloh berkata,
“Alloh Subhanahu wa Ta‘ala mengkhabarkan,
tidak patut bagi orang berianuntuk mengambil pilihan lain setelah keputusan
Alloh dan Rosul-Nya. Dan siapa yang mengambil pilihan lain berarti ia telah
sesat dengan kesesatan yang nyata.”
Alloh Ta‘ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتُقَدِّمُوا
بَيْنَ يَدَيِ اللهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ
“Hai orang-orang beriman, janganlah kalian mendahului
Alloh dan Rosul-Nya…” (QS. Al-Hujurot:
1)
Dari Ibnu Abbas Radhiyallohu ‘Anhuma ia
berkaba, “(Maksudnya) janganlah kalian mengucapkan perkataan yang menyelisihi
Al-Quzan dan Sunnah.”
Senada dengan ayat ini, Alloh Ta‘ala
berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَرْفَعُوا
أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلاَتَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ
بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَن تَحْبَطَ أَعْمَالَكُمْ وَأَنتُمْ لاَتَشْعُرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan
suaramu lebihdari suara nabi dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara
keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap sebagian yang lain,
supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedang kamu tidak menyadari.” (QS. Al-Hujurot: 2)
Ibnu `l-Qoyyim Rahimahulloh berkata,
“Jika meninggikan suara melebihi suara Nabi Shollallohu ‘alaihi wa Sallam saja
bisa menjadi penyebab hapusnya pahala amalan mereka, maka bagaimana jika mereka
lebih mengedepankan ide, pemikiran, perasaan, penaturan, dan pengetahuannya
daripada ajaran yang dibawa beliau serta lebih meninggikan semua itu darinya.
Bukankah yang seperti ini lebih bisa menghapus pahala amal-amal mereka?”
Dari Abdulloh bin Mas‘ud Radhiyallohu
‘Anhu berkata, “Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam membuatkan kami sebuah
garis, lalu membuat garis-garis lagi ke arah kanan dan kiri. Kemudian beliau
bersabda,
هَذِهِ سُبُلٌ، عَلَى كُلِّ سَبِيْلٍ مِنْهَا
شَيْطَانٌ يَدْعُوْ إِلَيْهِ
“Garis-garis ini adalah jalan-jalan, yang di setiap depan
jalan tersebut ada syetan yang menyeru ke arahnya.” Setelah itu beliau membaca firman Alloh Ta‘ala:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ
وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ
“Dan bahwa yang Kami perintahkan ini adalah jalan-Ku yang
lurus maka ikutilah jalan itu; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang
lain) sehingga kalian nanti bercerai-berai dari jalan-Nya…” (QS. Al-An‘âm: 153)
Ibnu Hibban telah meriwayatkan hadits
ini pada kitab Shohih nya, lalu ia memberi judul: BAB
PEMBERITAHUAN MENGENAI WAJIBNYA MEMEGANG SUNNAH NABI Shollallohu ‘alaihi wa
Sallam SERTA MENJAGA DIRI DARI SEMUA AHLI BID`AH YANG MENOLAK SUNNAH, WALAUPUN
MEREKA MENGHIASINYA.
Kedua: Syariat ini datang tak lain adalah untuk tercapainya
mashlahat para hamba dalam bentuk yang paling sempurna dan baik, baik di dunia
mau pun di akhirat. Maka, di mana ada syariat di situ lah ada mashlahat. Bahkan,
tidak akan pernah ada mashlahat dalam menyelisihi syariat. Oleh karena itu,
berpegang teguh kepada syariat adalah bukti keseriusan untuk menggapai
mashlahat bagi orang menginginkan mashlahat.
Alloh Subhanahu wa Ta‘ala telah
mensifati kitab-Nya sebagai petunjuk, obat, rahmat, kabar gembira, cahaya, dan
sifat-sifat lain yang menunjukkan bahwa mashlahat terbesar itu terbatas pada
mengikuti syariat dan berpegang teguh kepadanya. Alloh Ta‘ala berfirman:
ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ ِفيهِ هُدَى
لِلْمُتَّقِينَ
“Kitab ini (Al-Quran), tidak ada keraguan di dalamnya.
Sebagai petunjuk bagi orang-orang bertakwa.” (QS. Al-Baqoroh: 2)
Dan Alloh Ta’ala berfirman:
يَآأَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَآءَتْكُم مَّوْعِظَةٌ
مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَآءٌ لِّمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ
“Wahai Umat manusia, telah datang kepada kalian nasehat
dari robb kalian, dan obat bagi isi hati, serta petunjuk dan rahmat bagi
orang-orang beriman.” (QS. Yunus: 57)
Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam
bersabda –dalam sebuah hadits dari shahabat Irbadh bin Sariyah—:
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى
اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا. فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ
الْمَهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِي. عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِدِ.
“Sesungguhnya orang yang hidup sepeninggalku di antara
kalian, akan menyaksikan banyak perselisihan. Maka pegang teguhlah sunnahku dan
sunnah para khalifah yang lurus dan mendapat petunjuk, gigitlah semua itu dengan
gigi geraham.” (HR. Abu Dawud
dan Tirmizi).
Ibnu Rojab Rahimahulloh berkata,
“Sabda beliau: “…gigitlah dengan gigi geraham,” adalah
kiasan yang menunjukkan kuatnya berpegang teguh. Sedangkan An-Nawâjidz artinya adalahAl-Adhrôs (gigi geraham).”
Dan dari Abdulloh bin Masud Radhiyallohu
‘Anhu ia berkata, Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam bersabda,
إِنَّهُ لَيْسَ شَيْءٌ يُقَرِّبُكُمْ مِنَ
الْجَنَّةِ وَ يُبَاعِدُكُمْ مِنَ النَّارِ إِلاَّ قَدْ أَمَرْتُكُمْ بِهِ وَلَيْسَ
شَيْءٌ يُقَرِّبُكُمْ مِنَ النَّارِ وَ يُبَاعِدُكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ إِلاَّ قَدْ
نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ
“Sesungguhnya tiada satu urusanpun yang bisa mendekatkan
kalian kepada surga serta menjauhkan kalian dari neraka melainkan telah
kuperintahkan kepada kalian. Dan tidak ada satu urusanpun yang bisa mendekatkan
kalian kepada neraka dan menjauhkan kalian dari surga melainkan telah kularang kalian
darinya.”
Nashi-nash ini menunjukkan secara tegas
bahwa syariat Islam yang suci ini sama sekali tidak diturunkan melainkan demi
tercapainya mashlahat para hamba di dunia dan akhirat. Sebagaimana juga
menunjukkan dengan jelas dan agung bahwa mashlahat di atas segala mashlahat
adalah memegang teguh dan mengikuti syariat.
Al-‘Izz bin Abdus Salam berkata,
“Syariat ini semuanya adalah mashlahat, baik berupa menolak kerusakan atau
mendatangkan kebaikan. Maka jika kamu mendengar Alloh berfirman: “Hai orang-orang
beriman…” perhatikan baik-baik apa wasiat Alloh setelah seruan-Nya. Tidak akan
kamu jumpai selain kebaikan yang dianjurkan kepadamu untuk mengerjakannya atau
keburukan yang dilarang untuk kamu kerjakan, atau menggabungkan sekaligus
antara perintah dan larangan. Di dalam kitab-Nya, Alloh telah jelaskan berbagai
kerusakan dalam berbagai hukum agar kita terhindar dari kerusakan, dan Alloh
jelaskan berbagai mashlahat dalam berbagai hukum agar kita bisa mendapat
mashlahat.”
Berdasarkan semua ini, para pengikut
THOIFAH MANSHUROH tidak pernah membuat-buat di hadapan Alloh dengan
mengatasnamakan mashlahat dakwah. Mereka tidak berkata-kata atas Alloh dengan
tanpa ilmu. Sebab mereka yakin bahwa Dzat yang menurunkan ajaran dakwah ini
serta yang memerintahkan untuk menyampaikan apa adanya seperti ketika
diturunkan, Dia lah yang lebih mengetahui tentang dakwah dan mashlahatnya.
Mereka juga yakin Alloh Subhanahu wa Ta‘ala tidak memerintahkan sesuatu
melainkan demi tercapainya mashlahat dakwah, mashlahat para dai, dan para obyek
dakwah. Maka –sekali lagi—di mana ada syariat, di situlah mashlahat berada. Dan
ini termasuk konsekwensi dari meyakini bahwa syariat ini adalah yang benar.
Maka syariat ini semuanya adalah mashlahat-mashlahat dari Alloh, robb seluruh
makhluk, untuk para hamba-Nya. Maka betapa ruginya orang yang tidak mau
menerima nasehat Alloh, di dunia dan di akhirat.
Dari Rofi bin Hadij Radhiyallohu ‘Anhu
ia berkata, “Kami menyewakan tanah di masa Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa
Sallam. Kami sewakan dengan memungut sepertiga atauseperempat dari hasil panen
atau dengan makanan tertentu. Pada suatu hari, datang seorang pamanku ia
berkata, “Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam telah melarang kita
melakukan usaha yang menguntungkan bagi kita. TETAPI MEMATUHI ALLOH DAN
ROSUL-NYA LEBIH BERMANFAAT BAGI KITA. Beliau melarang kita menyewakan tanah
dengan memungut sepertiga atau seperempat dari hasil panen atau dengan makanan
tertentu dan beliau memerrintahkan pemilik tanah untuk menanaminya sendiri atau
menyuruh orang lain menanaminya, beliau tidak suka penyewaan tanah dan yang
semisalnya.” (HR. Muslim)
Renungkan baik-baik perkataan shahabat
Radhiyallohu ‘Anhu di atas, “Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam telah
melarang kita melakukan usaha yang menguntungkan bagi kita. TETAPI MEMATUHI
ALLOH DAN ROSUL-NYA LEBIH BERMANFAAT BAGI KITA.”
Shahabat ini berterus terang bahwa apa
yang Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam larang itu adalah perkara yang
bermanfaat, tetapi mereka rela meninggalkannya karena yakin bahwa mashlahat
adalah dengan mentaati Nabi Shollallohu ‘alaihi wa Sallam dan melaksanakan
ajaran beliau. Dengan disertai rasa yakin dalam diri mereka bahwa perintah
beliau lah yang merupakan mashlahat sesungguhnya, baik untuk di dunia mau pun
di akhirat. Maka, apa saja yang Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam
titahkan, itulah yang benar walau pun berakibat kepada terbuangnya perkara yang
mungkin dianggap baik dan menguntungkan secara logika.
Asy-Syathibi Rahimahulloh berkata,
“Sesungguhnya Al-Quran dan Sunnah tidak menyisakan tempat bagi siapa pun untuk
mengemukakan petunjuk baru atau tempat untuk menjadi lentara petunjuk baru.
Sesungguhnya agama Islam ini ini sudah sempurna. Kebahagiaan terbesar adalah
pada sesuatu yang digariskan oleh agama ini. Kelurusan ada pada apa yang
disyariatkannya. Sedangkan selain itu adalah kesesatan dan kebohongan,
kepalsuan dan kerugian. Dan seorang hamba yang kedua tangannya berrpegang teguh
kepadanya berarti telah berpegang teguh kepada tali yang kuat. Ia telah
memperoleh kebaikan dunia dan akhirat dengan kalimatnya. Sedangkan selain
Al-Quran dan Sunnah hanyalah ketidak pastian, asumsi-asumsi dan mimpi-mimpi
kosong.”
Adapun berusaha memperoleh mashlahat
dengan menyelisishi Al-Quran dan Sunnah adalah perbuatan orang-orang musyrik
dan suka ragu-ragu. Yang mana mereka ditimpa musibah berupa lemahnya keyakinan
tanpa mereka sadari. Mereka menyikapi syariat ini seperti yang digambarkan oleh
Ibnu `l-Qoyyim, “Mereka anggap syariat ini terbatas, tidak mendatangkan semua
mashlahat hamba, sehinga perlu ditambah dengan ajaran lain. Mereka membuat-buat
sendiri cara untuk mengukur kebenaran.” Seolah-olah Dzat Yang menurunkan
syariat ini tidak mengerti ihwal umat manusia, tidak mengerti apa yang baik dan
tidak baik bagi mereka. Dan seolah hamba yang dzalim lagi bodoh ini telah
mengetahui mashlahat yang tidak diketahui oleh Alloh, Dzat yang Mahamengetahui
yang tersembunyi dan rahasia. Mahatinggi Alloh dari kedustaan yang dibuat oleh
orang-orang dzalim, yakni orang-orang jahil yang mengikuti hawa nafsu dan
senantiasa ragu-ragu.
Dengan demikian, sebenarnya usaha
mencari mashlahat dengan menyelisihi Al-Quran dan Sunnah adalah di luar batas
kemampuan hamba dan telah memasuki urusan yang terlalu jauh yang tidak patut
baginya. Ini sudah merambah lingkup uluhiyah dan merupakan perampasan hak
Alloh, Robb yang Mahaagung, Mahasuci Alloh lagi Mahatinggi. Karena Alloh adalah
yang menciptakan semua makhluk, dan Dia pula lah yang paling mengetahui
mashlahat bagi mereka, Dia lah yang paling tahu apa yangmenjadikan hamba-Nya
baik di setiap zaman dan tempat. Dia lah yang paling tahu kondisi hamba dan apa
yang mendatangkan mashlahat untuknya. Alloh Ta‘ala berfirman:
أَلاَيَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ
الْخَبِيرُ
“Tidakkah Yang mencipta itu mengetahui? Sementara Dia
Mahalembut lagi Mahamengetahui?” (QS. Al-Mulk:
14)
Dan betapa banyak perkara yang menurut
akal adalah mashlahat padahal sebenarnya itu kerusakan (mafsadah). Dan betapa
banyak perkara yang menurut akal adalah kerusakan padahal justru itu adalah
mashlahat. Sedangkan perbandingan antara pengetahuan Alloh dengan makhluk dalam
hal menentukan mashlahat adalah perbandingan antara Dzat yang Mahamencipta dengan
makhluk ciptaan-Nya. Seorang hamba tak lebih sebagai hamba yang diatur, pada
dasarnya ia tiada berkuasa sedikit pun, kewajibannya adalah semata-mata tunduk,
taat, dan melaksanakan perintah, bukan melakukan protes atau menentang, sambil
tetap meyakini bahwa apa yang Alloh syariatkan untuknya adalah mashlahat yang
sesungguhnya.
Alloh Ta‘ala berfirman:
إِنَّ النَّفْسَ لأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ
“Sesungguhnya nafsu itu benar-benar memerintahkan kepada
keburukan…” (QS. Yûsuf: 53).
Alloh juga berfirman:
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ
هُدًى
“Dan siapa kah yang lebih sesat daripada orang yang
mengikuti hawa nafsunya tanpa ada petunjuk dari Alloh…?” (QS. Al-Qoshosh: 50)
Ibnu Hazm Rahimahulloh berkata,
“Ayat-ayat ini berisi pembatalan bagi siapa saja yang menganggap baik sesuatu
tanpa ada dalil (keterangan) dari nash mau pun ijmak. Dan tidak ada satu pun
yang lebih perhatian kepada hamba-hamba yang beriman melebihi Alloh, yang telah
menciptakan dan memberi rezeki mereka, serta yang mengirim petunjuk kelurusan
kepada mereka. Dan kehati-hatian paling puncak adalah mengikuti perintah Alloh,
sedangkan puncak keburukan adalah menyelisihi perintah-Nya.”
Alloh Ta‘ala berfirman:
قُلْ ءَأَنتُمْ أَعْلَمُ أَمِ اللهُ
“Katakanlah (wahai Muhammad), apakah kamu lebih
mengetahui ataukah Alloh…?” (Al-Baqoroh:
140)
Alloh juga berfirman:
وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Dan Alloh mengetahui sementara kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqoroh: 216, 232)
Yang jelas, mustahil ada mashlahat dalam
sikap menyelisihi nash syar‘î, justeru menyelisihi syar‘î adalah kerusakan yang
sesungguhnya. Mashlahat tidak lain adalah pada perkara yang ditetapkan syariat,
baik ketetapan itu berupa perintah untuk melaksanakan maupun meninggalkan
sesuatu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Rahimahulloh berkata, “Suatu perbuatan jika mengandung mashlahat dan mafsadah
sekaligus, maka sesungguhnya Sang Pembuat Syariat itu bijak (dalam
mendudukkannya). Apabila mashlahatnya lebih dominant daripada mafsadahnya,
disyariatkanlah perbuatan tersebut. Namun jika mafsadahnya lebih dominant
daripada mashlahatnya, perbuatan tersebut tidak disyariatkan. Sebagaimana
firman Alloh Ta‘ala:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهُُ
لَّكُمْ وَعَسَى أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرُُ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّوا
شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Diwajibkan atas kamu berperang padahal perang itu
sesuatu yang kamu benci. Bisa jadi kamu membenci sesuatu padahal itu baik bagi
kalian dan bisa jadi kalian menyukai sesuatu padahal itu buruk bagi kalian. Dan
Alloh mengetahui sementara kamu tidak lah mengetahui.”(QS. Al-Baqoroh:
216)
…” –hingga perkataan beliau— “…demikian
pula amalan-amalan yang menurut pandangan manusia bisa mendekatkan dirinya
kepada Alloh tetapi tidak disyariatkan oleh Alloh dan Rosul-Nya, maka pasti
keburukan amalan tersebut lebih besar daripada manfaatnya. Karena jika
manfaatnya lebih besar daripada keburukan (bahaya)nyatentu tidak akan
dikesampingkan oleh Sang Pembuat Syariat. Karena Rosululloh Shollallohu ‘alaihi
wa Sallam itu bijaksanana, beliau tidak pernah mengesampingkan
mashlahat-mashlahat dîn (agama) dan tidak pernah mengabaikan
bagi orang-orang beriman apa saja yang bisa mendekatkan diri mereka kepada
tuhan semesta alam.”
Dengan hanya merujuk kepada perkataan
Ibnu Taimiyah di atas, cukup sudah untuk mematahkan alasan mereka yang lebih
mengedepankan mashlahat daripada nash. Karena mengedepankan alasan mashlahat
daripada ketentuan syariat membuka peluang keluarnya seseorang dari Islam dan
hukum-hukum agama. Lebih dari itu juga membuang peluang untuk melakukan bid‘ah
dan menghakimi syariat berdasarkan apa yang baik menurut akal, pemikiran
sampah, dan hawa nafsu. Karena setiap muslim bisa saja menganggap dirinya
sebagai pengusung misi mencari mashlahat untuk membenarkan kebatilan yang ia
bawa dan ia buat-buat, lalu ia kedepankan alasan tersebut daripada nash syar‘i.
Alloh Ta‘ala berfirman:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لاَ تُفسِدُوا فِي اْلأَرْضِ
قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ {11} أَلاَ إِنَّهُم هُمُ الْمُفِسِدُونَ وَلَـكِن
لاَّ يَشْعُرُونَ {12}
“Dan jika dikatakan kepada mereka: Janganlah kamu berbuat
kerusakan di muka bumi, mereka menjawab: Kami adalah orang-orang yang
mengadakan perbaikan. Ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka itulah orang-orang
yang berbuat kerusakan akan tetapi mereka tidak menyadarinya.” (QS. Al-Baqoroh: 11-12)
Syaikh Sulaiman bin Abdulloh bin Abdul
Wahhab –semoga Alloh merahmati mereka semua— berkata, “Ayat ini menunjukkan
wajibnya mencocokkan pemikiran dengan sunnah, meski pun penggagas pemikiran itu
mengklaim dirinya melakukan perbaikan. Dan bahwa klaim melakukan perbaikan
bukan alasan untuk meninggalkan apa yang Alloh turunkan.”
Renungkan baik-baik firman Alloh Ta‘ala:
أَلَمْ تَرَإلِىَ الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ
ءَامَنُوا بِمَآأُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَآأُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحاَكَمُوا
إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَن يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ
الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيدًا
{60} وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَآأَنزَلَ اللهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ
الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنكَ صُدُودًا {61} فَكَيْفَ إِذَآأَصَابَتْهُم مُّصِيبَةُُ
بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ ثُمَّ جَآءُوكَ يَحْلِفُونَ بِاللهِ إِنْ أَرَدْنَآإِلآَّإِحْسَانًا
وَتَوْفِيقًا {62}
“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang mengaku
dirinya beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan apa yan
diturunkan sebelummu? Mereka ingin mecari ketetapan hukum kepada thoghut
padahal mereka telah diperintah untuk mengkufurinya, dan syetan ingin
menyesatkan mereka dengan kesesatan yang sejauh-jauhnya. Dan apabila dikatakan
kepada mereka: Mari (patuh) kepada apa yang diturunkan Alloh dan (patuh) kepada
rosul, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi dengan keras darimu.
Maka bagaimana halnya (kelak) musibah menimpa mereka (orang-orang munafik)
disebabkan perbuatan tangannya sendiri kemudian mereka datang kepadamu
(Muhammad) sambil bersumpah: “Demi Alloh, kami sekali-kali tidak menghendaki
selain kebaikan dan kedamaian (menyatukan dua fihak yang bermusuhan).”(QS. An-Nisa’:
60 – 62)
Keinginan mereka untuk berbuat baik dan
mendamaikan tidaklah menghindarkan mereka dari kekufuran yang menimpa mereka.
Bahkan perbuatan itu lah yang menjadi penyebab kekufuruan tersebut.
Imam Ibnu `l-Qoyyim Rahimahulloh berkata,
“Alloh Subhanahu wa Ta‘ala memberitahukan bahwa apabila dikatakan kepada mereka
untuk patuh kepada yang diturunkan Alloh dan patuh kepada rosul, mereka berpaling
darinya. Mereka tidak mengindahkan ajakan orang yang menyeru dan mereka justeru
rela dengan hukum selainnya. Setelah itu Alloh memberi ancaman kepada mereka,
sebab apabila ada musibah yang menimpa akal, agama, penglihatan, fisik, dan
harta mereka, disebabkan mereka berpaling dari apa yang dibawa rosul dan malah
mencari hukum kepada selainnya sebagaimana firman Alloh Ta‘ala:
فَإِن تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ
اللهُ أَن يُصِيبَهُم بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ
“Maka jika mereka berpaling, ketahuilah bahwa Alloh
hendak menimpakan musibah kepada mereka disebabkan dosa-dosa mereka…” (QS. Al-Maidah: 49),
… mereka beralasan ingin melakukan
kebaikan dan pendamaian; yaitu pendamaian dua kubu yang bermusuhan sebagaimana
klaim seseorang yang ingin mempersatukan antara apa yang dibawa rosul
Shollallohu ‘alaihi wa Sallam dengan apa yang bertentangan dengannya yang
dengan itu ia merasa dirinya pelaku perbaikan yang bertujuan berbuat baik,
mendamaikan, dan merasa dirinya beriman. Padahal sesungguhnya orang seperti ini
justeru akan menyulut api pertempuran antara apa yang dibawa Rosul dengan apa
saja yang bertentangan dengannya, entah itu berupa tatacara hidup, ajaran,
keyakinan, perpolitikan, mau pun pemikiran. Padahal sebenarnya, keimanan yang
murni adalah meyakini pasti terjadinya konfrontasi antara kedua hal yang
bertentangan ini, bukan mendamaikannya. Wa
billâhi `t-Taufîq.”
Dan alangkah indah ungkapan yang
disampaikan oleh Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ibrohim Al-Busyanjiy, beliau
berkata, “Kewajiban bagi semua ahli ilmu dan kaum muslimin adalah konsisten
dalam mencukupkan diri mengikuti sunnah. Hendaknya mereka semua menjadikan
prinsip-prinsip ajaran yang berasal dari Al-Quran dan Sunnah sebagai rujukan
puncak bagi segala pemikiran, bukan menjadikan pemikiran akal sebagai rujukan
akhir dari prinsip-prinsip Al-Quran dan Sunnah.”
Kemudian, di sini ada satu perkara
penting yang harus kita garis bawahi. Yaitu tentang masalah mencocokkan
penerapan hukum-hukum syar‘î dengan realita dalam kehidupan (atau sering
disebut wâqi‘), bahwa ini termasuk masalah yang sudah
diatur dalam syariat, dianjurkan dan diperintahkan. Bahkan masalah ini wajib
difahami ketika akan melaksanakan atau menerapkan hukum-hukum syar‘î. Hanya
saja, bagi para pengikut THOIFAH MANSHUROH, ketika mereka mengikatkan diri
dengan kaidah mencocokkan hukum syar‘î dengan realita, mereka menjadikan
syariat sebagai tolok ukur dalam menentukan mashlahat dan mafsadah. Artinya,
bagi mereka mashlahat adalah yang oleh agama dan syariat Alloh ditetapkan
sebagai mashlahat, dan mafsadah adalah yang ditetapkan olehnya sebagai
mafsadah. Tidak ada tolok ukur lain bagi mereka selain ini.
Makanya, para pengikut THOIFAH MANSHUROH
tidak menjadikan kaidah “pencocokan antara syariat dengan realita” sebagai alat
untuk membuat-buat perkara baru (bid‘ah), mengatakan atas Alloh tanpa dasar
ilmu, berdekat-dekat dengan orang-orang dzalim, menghalalkan yang haram,
mengharamkan yang halal, atau pun mempermainkan hukum-hukum syar‘î, sebagaimana
yang dilakukan oleh kebanyaka orang yang menjadikan akal dan hawa nafsu sebagai
tolok ukur dalam menentukan mashlahat dan mafsadah. Akibatnya, mereka sesatkan
orang banyak dan mereka sendiri sesat dari jalan yang lurus. Sebab mereka
menganggap buruk apa yang baik menurut syariat serta menganggap baik apa yang
buruk menurutnya, setelah itu mereka berlindung di balik kaidah “pencocokan
antara syariat dan realita.” Mereka jadikan kaidah ini sebagai tempat
bersembunyi, sebagai alat untuk mencapai misi-misinya, dan menjadikannya
sebagai tameng pelindung sekaligus pedang di hadapan orang-orang menentang
mereka.
Ini pula lah makna yang ditunjukkan oleh
firman Alloh Ta‘ala:
مَاكَانَ لِنَبِيٍّ أَن يَّكُونَ لَهُ أَسْرَى
حَتَّى يُثْخِنَ فيِ اْلأَرْضِ تُرِيدُونَ عَرَضَ الدُّنْيَا وَاللهُ يُرِيدُ اْلأَخِرَةِ
وَاللهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Tidaklah pantas bagu seorang nabi mempunyai tawanan
sebelum dia dapat melumpuhkan musuhnya di bumi. Kamu menghendaki harta duniawi
sedangkan Alloh menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Alloh Mahaperkasa
lagi Mahabijaksana.” (QS. Al-Anfal:
67)
Diceritakan mengenai sebab turun ayat
ini, bahwa ketika kaum muslimin berhasil menawan musuh pada perang Badar,
Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam bertanya kepada Abu Bakar dan Umar,
“Apa pendapat kalian tentang para tawanan ini?” Abu Bakar berkata, “Wahai Nabi
Alloh, mereka adalah anak-anak dari paman dan kerabat. Menurutku, mintalah
tebusan kepada mereka agar kita semakin kuat dalam melawan orang-orang kafir.
Semoga saja nanti Alloh memberi hidayah mereka untuk masuk Islam.” Rosululloh
Shollallohu ‘alaihi wa Sallam berkata, “Apa pendapatmu wahai putra Khothob
(Umar, pent)?” Umar berkata, “Tidak, demi Alloh, wahai Rosululloh. Aku tidak
sependapat dengan Abu Bakar. Menurutku, engkau izinkan kami memenggal leher
mereka. Engkau izinkan Ali memenggal leher Ashim, engkau izinkan aku memenggal
si fulan (yang masih kerabat Umar), sebab mereka adalah para pemimpin dan tokoh
kekafiran.” Umar menuturkan, “Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam lebih
cenderung kepada pendapat Abu Bakar dan tidak cenderung kepada kata-kataku.
Keesokan harinya, aku datang dan ternyata Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa
Sallam dan Abu Bakar terduduk sambil menangis. Aku bertanya, “Wahai Rosululloh,
beritahu aku mengapa engkau dan temanmu menangis? Kalau aku bisa menangis aku
akan menangis, tapi jika tidak maka aku akan berusaha menangis karena tangisan
kalian berdua.” Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Aku
menangis karena tawaran-tawaran yang teman-temanmu ajukan kepadaku untuk
meminta tebusan kepada para tawanan itu. Dan telah diwahyukan kepadaku bawa
hukuman mereka lebih dekat daripada pohon ini.” Maka Alloh menurunkan ayat:
مَاكَانَ لِنَبِيٍّ أَن يَّكُونَ لَهُ أَسْرَى
حَتَّى يُثْخِنَ فيِ اْلأَرْضِ
“Tidaklah bagi seorang nabi memunyai tawanan sebelum dia
dapat melumpuhkan musuh di bumi…dst”.
Hadits ini menunjukkan bahwa ukuran
dalam menentukan mashlahat adalah apa yang disyariatkan dan diridhoi
Alloh bagi para hamba-Nya. Bukan dengan apa yang dianggap baik oleh akal,
meskipun itu berasal dari orang-orang yang memiliki kedudukan dan ketokohan
dalam agama ini dari sisi ilmu mau pun amal. Apalagi akal orang yang derajatnya
lebih renadh dari mereka, di mana perbandingan ilmu dan amalnya jauh dengan
mereka.
Di sini ada satu cara yang ditempuh
banyak orang dalam membenarkan sikap “menyerah”nya. Yaitu berdalil dengan apa
yang disebut QOWA‘ID ‘AMMAH (kaidah-kaidah syar‘I yang bersifat global). Alasan
seperti ini bisa dijawab dengan kita katakan bahwa penggunaan QOWA‘ID ‘AMMAH
–berdasarkan keterangan para ulama—terikat oleh ijmak(konsensus) tentang tidak bolehnya
penggunaan kaidah tersebut menyelisihi nash-nash syar‘i. Maka jika ada ijtihad
berdasarkan QOWA‘ID ‘AMMAH yang menyelisihi nash-nash syar‘î, tak diragukan
lagi ijtihad tersebut adalah batil. Bahkan itu merupakan ijtihad yang tidak
pada tempatnya. Dari sini, para ulama ulama menetapkan sebauh kaidah yang
mereka sepakati, yaitu:
لاَ مَسَاغَ لاِجْتِهَادِ فِيْ مَوْرِدِ النَّصِّ
Tidak diperkenankan berijtihad pada hal-hal yang sudah
ditentukan oleh nash.
Di antara bentuk ketercampur adukkan
antara pencocokkan syariat dan realita serta kaburnya antara mashlahat-mafsadah
dengan kebenaran menurut syar‘î adalah sikapa kebanyakan orang yang barangkali
mencela orang lain yang melakukan perbatan terbaik, kemudian mereka anggap
perbuatan itu adalah perbuatan yang jarang dilakukan orang. Ini terjadi karena
cara pandang yang lemah atau karena memilih perbuatan yang dianggap lebih
selamat dan waro‘. Padahal, waro‘ itu bukan saja menghindari perkara
syubhat karena khawatir terjerumus ke dalam perbuatan haram atau makruh,
termasuk waro‘ juga adalah melakukan perbuatan yang
masih samar karena ada kemungkinan perkara itu sebenarnya wajib atau sunnah.
Contohnya adalah yang dilakukan pemuda Ghulam dalam kisah Ashhâbu `l-Ukhdûd.
Dalam kisah tersebut, pemuda Ghulam lebih memilih dibunuh daripada hidup,
dengan bertujuan memenangkan agama dan menyebarkan dakwah. Sehingga, pilihan
dan keinginan pemuda Ghulam –semoga Alloh meridhoinya—untuk mati itu adalah
mashlahat dakwah.
Tarbiyah Jihadiyah Kontemporer
Seri IV
Tidak ada komentar:
Posting Komentar