"Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu merasa kesakitan, maka sesungguhnya mereka pun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (an-Nisa’:104)"

Senin, 02 Mei 2016

MELAKSANAKAN SYARIAT DAN BERPEGANG TEGUH KEPADANYA ADALAH MASHLAHAT YANG SEBENARNYA



 Oleh : Syaikh Mujahid Abu Mus‘ab Al-Zarqawi rh.

Hal ini bisa kita simpulkan dari dua sisi:
Pertama: Alloh tidak mensyariatkan agama ini kecuali untuk diamalkan dan dalam rangka menguji para hamba dengan berbagai beban-beban tugas. Sementara hamba adalah makhluk yang diatur tuhannya, sehingga mashlahat berupa menyambutnya hamba terhadap tugas-tugas robbnya dan berpegang teguh kepadanya adalah inti dan esensi dari mashlahat yang disukai dan diridhoi Alloh pada diri mereka.
Nash-nash yang memperkuat prinsip di atas sangatlah banyak, sebab ini merupakan pondasi sekaligus inti bangunan Islam, dan tujuan utama dari ibadah. Alloh Ta‘ala berfirman:
وَمَاكَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَمُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولَهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةَ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُّبِينًا
“Dan tidak patut bagi orang-orang beriman, laki-laki maupun perempuan, apabila Alloh dan Rosul-Nya memutuskan suatu urusan lalu ada pilihan lain bagi mereka pada urusan mereka. Dan barangsiapa bermaksiat kepada Alloh dan Rosul-Nya, sungguh ia sesat dengan kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Ahzâb: 36)
Ibnu Katsîr Rahimahulloh berkata, “Ayat ini berlaku umum pada semua urusan. Sebab apabila Alloh dan rosul-Nya memutuskan sesuatu, tidak ada seorang pun yang boleh menyelisihinya, tidak seorang pun boleh memilih, mengajukan ide, atau pendapat (yang berbeda). Sebagaimana firman Alloh:
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَيُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidaklah beriman sehingga mereka menjadikan kamu sebagai penentu hukum dalam setiap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak lagi merasa keberatan di dalam hati mereka dan mereka menerima dengan sepasrah-pasrahnya.” (QS. An-Nisâ’: 65).
Makanya Alloh bersikap keras terhadap siapa yang menyelisihi ketentuan ini dengan berfirman:
وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُبِيْنًا
“Dan barangsiapa bermaksiat kepada Alloh dan Rosul-Nya, sungguh ia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.”
Seperti firman-Nya juga,
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaknya orang-orang yang menyelisihi perintah-Nya takut kalau diri mereka tertimpa fitnah atau tertimpa azab yang pedih.” (QS. An-Nûr: 63)
Ibnu `l-Qoyyim Rahimahulloh berkata, “Alloh Subhanahu wa Ta‘ala mengkhabarkan, tidak patut bagi orang berianuntuk mengambil pilihan lain setelah keputusan Alloh dan Rosul-Nya. Dan siapa yang mengambil pilihan lain berarti ia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.”
Alloh Ta‘ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ
“Hai orang-orang beriman, janganlah kalian mendahului Alloh dan Rosul-Nya…” (QS. Al-Hujurot: 1)
Dari Ibnu Abbas Radhiyallohu ‘Anhuma ia berkaba, “(Maksudnya) janganlah kalian mengucapkan perkataan yang menyelisihi Al-Quzan dan Sunnah.”
Senada dengan ayat ini, Alloh Ta‘ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلاَتَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَن تَحْبَطَ أَعْمَالَكُمْ وَأَنتُمْ لاَتَشْعُرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebihdari suara nabi dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedang kamu tidak menyadari.” (QS. Al-Hujurot: 2)
Ibnu `l-Qoyyim Rahimahulloh berkata, “Jika meninggikan suara melebihi suara Nabi Shollallohu ‘alaihi wa Sallam saja bisa menjadi penyebab hapusnya pahala amalan mereka, maka bagaimana jika mereka lebih mengedepankan ide, pemikiran, perasaan, penaturan, dan pengetahuannya daripada ajaran yang dibawa beliau serta lebih meninggikan semua itu darinya. Bukankah yang seperti ini lebih bisa menghapus pahala amal-amal mereka?”
Dari Abdulloh bin Mas‘ud Radhiyallohu ‘Anhu berkata, “Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam membuatkan kami sebuah garis, lalu membuat garis-garis lagi ke arah kanan dan kiri. Kemudian beliau bersabda,
هَذِهِ سُبُلٌ، عَلَى كُلِّ سَبِيْلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُوْ إِلَيْهِ
“Garis-garis ini adalah jalan-jalan, yang di setiap depan jalan tersebut ada syetan yang menyeru ke arahnya.” Setelah itu beliau membaca firman Alloh Ta‘ala:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ
“Dan bahwa yang Kami perintahkan ini adalah jalan-Ku yang lurus maka ikutilah jalan itu; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) sehingga kalian nanti bercerai-berai dari jalan-Nya…” (QS. Al-An‘âm: 153)
Ibnu Hibban telah meriwayatkan hadits ini pada kitab Shohih nya, lalu ia memberi judul: BAB PEMBERITAHUAN MENGENAI WAJIBNYA MEMEGANG SUNNAH NABI Shollallohu ‘alaihi wa Sallam SERTA MENJAGA DIRI DARI SEMUA AHLI BID`AH YANG MENOLAK SUNNAH, WALAUPUN MEREKA MENGHIASINYA.
Kedua: Syariat ini datang tak lain adalah untuk tercapainya mashlahat para hamba dalam bentuk yang paling sempurna dan baik, baik di dunia mau pun di akhirat. Maka, di mana ada syariat di situ lah ada mashlahat. Bahkan, tidak akan pernah ada mashlahat dalam menyelisihi syariat. Oleh karena itu, berpegang teguh kepada syariat adalah bukti keseriusan untuk menggapai mashlahat bagi orang menginginkan mashlahat.
Alloh Subhanahu wa Ta‘ala telah mensifati kitab-Nya sebagai petunjuk, obat, rahmat, kabar gembira, cahaya, dan sifat-sifat lain yang menunjukkan bahwa mashlahat terbesar itu terbatas pada mengikuti syariat dan berpegang teguh kepadanya. Alloh Ta‘ala berfirman:
ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ ِفيهِ هُدَى لِلْمُتَّقِينَ
“Kitab ini (Al-Quran), tidak ada keraguan di dalamnya. Sebagai petunjuk bagi orang-orang bertakwa.” (QS. Al-Baqoroh: 2)
Dan Alloh Ta’ala berfirman:
يَآأَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَآءَتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَآءٌ لِّمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ
“Wahai Umat manusia, telah datang kepada kalian nasehat dari robb kalian, dan obat bagi isi hati, serta petunjuk dan rahmat bagi orang-orang beriman.” (QS. Yunus: 57)
Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam bersabda –dalam sebuah hadits dari shahabat Irbadh bin Sariyah—:
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا. فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِي. عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِدِ.
“Sesungguhnya orang yang hidup sepeninggalku di antara kalian, akan menyaksikan banyak perselisihan. Maka pegang teguhlah sunnahku dan sunnah para khalifah yang lurus dan mendapat petunjuk, gigitlah semua itu dengan gigi geraham.” (HR. Abu Dawud dan Tirmizi).
Ibnu Rojab Rahimahulloh berkata, “Sabda beliau: “…gigitlah dengan gigi geraham,” adalah kiasan yang menunjukkan kuatnya berpegang teguh. Sedangkan An-Nawâjidz artinya adalahAl-Adhrôs (gigi geraham).”
 Dan dari Abdulloh bin Masud Radhiyallohu ‘Anhu ia berkata, Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam bersabda,
إِنَّهُ لَيْسَ شَيْءٌ يُقَرِّبُكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ وَ يُبَاعِدُكُمْ مِنَ النَّارِ إِلاَّ قَدْ أَمَرْتُكُمْ بِهِ وَلَيْسَ شَيْءٌ يُقَرِّبُكُمْ مِنَ النَّارِ وَ يُبَاعِدُكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ إِلاَّ قَدْ نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ
“Sesungguhnya tiada satu urusanpun yang bisa mendekatkan kalian kepada surga serta menjauhkan kalian dari neraka melainkan telah kuperintahkan kepada kalian. Dan tidak ada satu urusanpun yang bisa mendekatkan kalian kepada neraka dan menjauhkan kalian dari surga melainkan telah kularang kalian darinya.”
Nashi-nash ini menunjukkan secara tegas bahwa syariat Islam yang suci ini sama sekali tidak diturunkan melainkan demi tercapainya mashlahat para hamba di dunia dan akhirat. Sebagaimana juga menunjukkan dengan jelas dan agung bahwa mashlahat di atas segala mashlahat adalah memegang teguh dan mengikuti syariat.

Al-‘Izz bin Abdus Salam berkata, “Syariat ini semuanya adalah mashlahat, baik berupa menolak kerusakan atau mendatangkan kebaikan. Maka jika kamu mendengar Alloh berfirman: “Hai orang-orang beriman…” perhatikan baik-baik apa wasiat Alloh setelah seruan-Nya. Tidak akan kamu jumpai selain kebaikan yang dianjurkan kepadamu untuk mengerjakannya atau keburukan yang dilarang untuk kamu kerjakan, atau menggabungkan sekaligus antara perintah dan larangan. Di dalam kitab-Nya, Alloh telah jelaskan berbagai kerusakan dalam berbagai hukum agar kita terhindar dari kerusakan, dan Alloh jelaskan berbagai mashlahat dalam berbagai hukum agar kita bisa mendapat mashlahat.”
Berdasarkan semua ini, para pengikut THOIFAH MANSHUROH tidak pernah membuat-buat di hadapan Alloh dengan mengatasnamakan mashlahat dakwah. Mereka tidak berkata-kata atas Alloh dengan tanpa ilmu. Sebab mereka yakin bahwa Dzat yang menurunkan ajaran dakwah ini serta yang memerintahkan untuk menyampaikan apa adanya seperti ketika diturunkan, Dia lah yang lebih mengetahui tentang dakwah dan mashlahatnya. Mereka juga yakin Alloh Subhanahu wa Ta‘ala tidak memerintahkan sesuatu melainkan demi tercapainya mashlahat dakwah, mashlahat para dai, dan para obyek dakwah. Maka –sekali lagi—di mana ada syariat, di situlah mashlahat berada. Dan ini termasuk konsekwensi dari meyakini bahwa syariat ini adalah yang benar. Maka syariat ini semuanya adalah mashlahat-mashlahat dari Alloh, robb seluruh makhluk, untuk para hamba-Nya. Maka betapa ruginya orang yang tidak mau menerima nasehat Alloh, di dunia dan di akhirat.
Dari Rofi bin Hadij Radhiyallohu ‘Anhu ia berkata, “Kami menyewakan tanah di masa Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam. Kami sewakan dengan memungut sepertiga atauseperempat dari hasil panen atau dengan makanan tertentu. Pada suatu hari, datang seorang pamanku ia berkata, “Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam telah melarang kita melakukan usaha yang menguntungkan bagi kita. TETAPI MEMATUHI ALLOH DAN ROSUL-NYA LEBIH BERMANFAAT BAGI KITA. Beliau melarang kita menyewakan tanah dengan memungut sepertiga atau seperempat dari hasil panen atau dengan makanan tertentu dan beliau memerrintahkan pemilik tanah untuk menanaminya sendiri atau menyuruh orang lain menanaminya, beliau tidak suka penyewaan tanah dan yang semisalnya.” (HR. Muslim)
Renungkan baik-baik perkataan shahabat Radhiyallohu ‘Anhu di atas, “Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam telah melarang kita melakukan usaha yang menguntungkan bagi kita. TETAPI MEMATUHI ALLOH DAN ROSUL-NYA LEBIH BERMANFAAT BAGI KITA.”
Shahabat ini berterus terang bahwa apa yang Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam larang itu adalah perkara yang bermanfaat, tetapi mereka rela meninggalkannya karena yakin bahwa mashlahat adalah dengan mentaati Nabi Shollallohu ‘alaihi wa Sallam dan melaksanakan ajaran beliau. Dengan disertai rasa yakin dalam diri mereka bahwa perintah beliau lah yang merupakan mashlahat sesungguhnya, baik untuk di dunia mau pun di akhirat. Maka, apa saja yang Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam titahkan, itulah yang benar walau pun berakibat kepada terbuangnya perkara yang mungkin dianggap baik dan menguntungkan secara logika.
Asy-Syathibi Rahimahulloh berkata, “Sesungguhnya Al-Quran dan Sunnah tidak menyisakan tempat bagi siapa pun untuk mengemukakan petunjuk baru atau tempat untuk menjadi lentara petunjuk baru. Sesungguhnya agama Islam ini ini sudah sempurna. Kebahagiaan terbesar adalah pada sesuatu yang digariskan oleh agama ini. Kelurusan ada pada apa yang disyariatkannya. Sedangkan selain itu adalah kesesatan dan kebohongan, kepalsuan dan kerugian. Dan seorang hamba yang kedua tangannya berrpegang teguh kepadanya berarti telah berpegang teguh kepada tali yang kuat. Ia telah memperoleh kebaikan dunia dan akhirat dengan kalimatnya. Sedangkan selain Al-Quran dan Sunnah hanyalah ketidak pastian, asumsi-asumsi dan mimpi-mimpi kosong.”
Adapun berusaha memperoleh mashlahat dengan menyelisishi Al-Quran dan Sunnah adalah perbuatan orang-orang musyrik dan suka ragu-ragu. Yang mana mereka ditimpa musibah berupa lemahnya keyakinan tanpa mereka sadari. Mereka menyikapi syariat ini seperti yang digambarkan oleh Ibnu `l-Qoyyim, “Mereka anggap syariat ini terbatas, tidak mendatangkan semua mashlahat hamba, sehinga perlu ditambah dengan ajaran lain. Mereka membuat-buat sendiri cara untuk mengukur kebenaran.” Seolah-olah Dzat Yang menurunkan syariat ini tidak mengerti ihwal umat manusia, tidak mengerti apa yang baik dan tidak baik bagi mereka. Dan seolah hamba yang dzalim lagi bodoh ini telah mengetahui mashlahat yang tidak diketahui oleh Alloh, Dzat yang Mahamengetahui yang tersembunyi dan rahasia. Mahatinggi Alloh dari kedustaan yang dibuat oleh orang-orang dzalim, yakni orang-orang jahil yang mengikuti hawa nafsu dan senantiasa ragu-ragu.
Dengan demikian, sebenarnya usaha mencari mashlahat dengan menyelisihi Al-Quran dan Sunnah adalah di luar batas kemampuan hamba dan telah memasuki urusan yang terlalu jauh yang tidak patut baginya. Ini sudah merambah lingkup uluhiyah dan merupakan perampasan hak Alloh, Robb yang Mahaagung, Mahasuci Alloh lagi Mahatinggi. Karena Alloh adalah yang menciptakan semua makhluk, dan Dia pula lah yang paling mengetahui mashlahat bagi mereka, Dia lah yang paling tahu apa yangmenjadikan hamba-Nya baik di setiap zaman dan tempat. Dia lah yang paling tahu kondisi hamba dan apa yang mendatangkan mashlahat untuknya. Alloh Ta‘ala berfirman:
أَلاَيَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
“Tidakkah Yang mencipta itu mengetahui? Sementara Dia Mahalembut lagi Mahamengetahui?” (QS. Al-Mulk: 14)
Dan betapa banyak perkara yang menurut akal adalah mashlahat padahal sebenarnya itu kerusakan (mafsadah). Dan betapa banyak perkara yang menurut akal adalah kerusakan padahal justru itu adalah mashlahat. Sedangkan perbandingan antara pengetahuan Alloh dengan makhluk dalam hal menentukan mashlahat adalah perbandingan antara Dzat yang Mahamencipta dengan makhluk ciptaan-Nya. Seorang hamba tak lebih sebagai hamba yang diatur, pada dasarnya ia tiada berkuasa sedikit pun, kewajibannya adalah semata-mata tunduk, taat, dan melaksanakan perintah, bukan melakukan protes atau menentang, sambil tetap meyakini bahwa apa yang Alloh syariatkan untuknya adalah mashlahat yang sesungguhnya.
Alloh Ta‘ala berfirman:
إِنَّ النَّفْسَ لأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ
“Sesungguhnya nafsu itu benar-benar memerintahkan kepada keburukan…” (QS. Yûsuf: 53).
Alloh juga berfirman:
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى
“Dan siapa kah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa ada petunjuk dari Alloh…?” (QS. Al-Qoshosh: 50)
Ibnu Hazm Rahimahulloh berkata, “Ayat-ayat ini berisi pembatalan bagi siapa saja yang menganggap baik sesuatu tanpa ada dalil (keterangan) dari nash mau pun ijmak. Dan tidak ada satu pun yang lebih perhatian kepada hamba-hamba yang beriman melebihi Alloh, yang telah menciptakan dan memberi rezeki mereka, serta yang mengirim petunjuk kelurusan kepada mereka. Dan kehati-hatian paling puncak adalah mengikuti perintah Alloh, sedangkan puncak keburukan adalah menyelisihi perintah-Nya.”
Alloh Ta‘ala berfirman:
قُلْ ءَأَنتُمْ أَعْلَمُ أَمِ اللهُ
“Katakanlah (wahai Muhammad), apakah kamu lebih mengetahui ataukah Alloh…?” (Al-Baqoroh: 140)
Alloh juga berfirman:
وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Dan Alloh mengetahui sementara kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqoroh: 216, 232)
Yang jelas, mustahil ada mashlahat dalam sikap menyelisihi nash syar‘î, justeru menyelisihi syar‘î adalah kerusakan yang sesungguhnya. Mashlahat tidak lain adalah pada perkara yang ditetapkan syariat, baik ketetapan itu berupa perintah untuk melaksanakan maupun meninggalkan sesuatu.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahulloh berkata, “Suatu perbuatan jika mengandung mashlahat dan mafsadah sekaligus, maka sesungguhnya Sang Pembuat Syariat itu bijak (dalam mendudukkannya). Apabila mashlahatnya lebih dominant daripada mafsadahnya, disyariatkanlah perbuatan tersebut. Namun jika mafsadahnya lebih dominant daripada mashlahatnya, perbuatan tersebut tidak disyariatkan. Sebagaimana firman Alloh Ta‘ala:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهُُ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرُُ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Diwajibkan atas kamu berperang padahal perang itu sesuatu yang kamu benci. Bisa jadi kamu membenci sesuatu padahal itu baik bagi kalian dan bisa jadi kalian menyukai sesuatu padahal itu buruk bagi kalian. Dan Alloh mengetahui sementara kamu tidak lah mengetahui.”(QS. Al-Baqoroh: 216)
…” –hingga perkataan beliau— “…demikian pula amalan-amalan yang menurut pandangan manusia bisa mendekatkan dirinya kepada Alloh tetapi tidak disyariatkan oleh Alloh dan Rosul-Nya, maka pasti keburukan amalan tersebut lebih besar daripada manfaatnya. Karena jika manfaatnya lebih besar daripada keburukan (bahaya)nyatentu tidak akan dikesampingkan oleh Sang Pembuat Syariat. Karena Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam itu bijaksanana, beliau tidak pernah mengesampingkan mashlahat-mashlahat dîn (agama) dan tidak pernah mengabaikan bagi orang-orang beriman apa saja yang bisa mendekatkan diri mereka kepada tuhan semesta alam.”
Dengan hanya merujuk kepada perkataan Ibnu Taimiyah di atas, cukup sudah untuk mematahkan alasan mereka yang lebih mengedepankan mashlahat daripada nash. Karena mengedepankan alasan mashlahat daripada ketentuan syariat membuka peluang keluarnya seseorang dari Islam dan hukum-hukum agama. Lebih dari itu juga membuang peluang untuk melakukan bid‘ah dan menghakimi syariat berdasarkan apa yang baik menurut akal, pemikiran sampah, dan hawa nafsu. Karena setiap muslim bisa saja menganggap dirinya sebagai pengusung misi mencari mashlahat untuk membenarkan kebatilan yang ia bawa dan ia buat-buat, lalu ia kedepankan alasan tersebut daripada nash syar‘i. Alloh Ta‘ala berfirman:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لاَ تُفسِدُوا فِي اْلأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ {11} أَلاَ إِنَّهُم هُمُ الْمُفِسِدُونَ وَلَـكِن لاَّ يَشْعُرُونَ {12}
“Dan jika dikatakan kepada mereka: Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab: Kami adalah orang-orang yang mengadakan perbaikan. Ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang berbuat kerusakan akan tetapi mereka tidak menyadarinya.” (QS. Al-Baqoroh: 11-12)
Syaikh Sulaiman bin Abdulloh bin Abdul Wahhab –semoga Alloh merahmati mereka semua— berkata, “Ayat ini menunjukkan wajibnya mencocokkan pemikiran dengan sunnah, meski pun penggagas pemikiran itu mengklaim dirinya melakukan perbaikan. Dan bahwa klaim melakukan perbaikan bukan alasan untuk meninggalkan apa yang Alloh turunkan.”
Renungkan baik-baik firman Alloh Ta‘ala:
أَلَمْ تَرَإلِىَ الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوا بِمَآأُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَآأُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحاَكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَن يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ
الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيدًا {60} وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَآأَنزَلَ اللهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنكَ صُدُودًا {61} فَكَيْفَ إِذَآأَصَابَتْهُم مُّصِيبَةُُ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ ثُمَّ جَآءُوكَ يَحْلِفُونَ بِاللهِ إِنْ أَرَدْنَآإِلآَّإِحْسَانًا وَتَوْفِيقًا {62}

“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang mengaku dirinya beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan apa yan diturunkan sebelummu? Mereka ingin mecari ketetapan hukum kepada thoghut padahal mereka telah diperintah untuk mengkufurinya, dan syetan ingin menyesatkan mereka dengan kesesatan yang sejauh-jauhnya. Dan apabila dikatakan kepada mereka: Mari (patuh) kepada apa yang diturunkan Alloh dan (patuh) kepada rosul, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi dengan keras darimu. Maka bagaimana halnya (kelak) musibah menimpa mereka (orang-orang munafik) disebabkan perbuatan tangannya sendiri kemudian mereka datang kepadamu (Muhammad) sambil bersumpah: “Demi Alloh, kami sekali-kali tidak menghendaki selain kebaikan dan kedamaian (menyatukan dua fihak yang bermusuhan).”(QS. An-Nisa’: 60 – 62)
Keinginan mereka untuk berbuat baik dan mendamaikan tidaklah menghindarkan mereka dari kekufuran yang menimpa mereka. Bahkan perbuatan itu lah yang menjadi penyebab kekufuruan tersebut.
Imam Ibnu `l-Qoyyim Rahimahulloh berkata, “Alloh Subhanahu wa Ta‘ala memberitahukan bahwa apabila dikatakan kepada mereka untuk patuh kepada yang diturunkan Alloh dan patuh kepada rosul, mereka berpaling darinya. Mereka tidak mengindahkan ajakan orang yang menyeru dan mereka justeru rela dengan hukum selainnya. Setelah itu Alloh memberi ancaman kepada mereka, sebab apabila ada musibah yang menimpa akal, agama, penglihatan, fisik, dan harta mereka, disebabkan mereka berpaling dari apa yang dibawa rosul dan malah mencari hukum kepada selainnya sebagaimana firman Alloh Ta‘ala:
فَإِن تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللهُ أَن يُصِيبَهُم بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ
“Maka jika mereka berpaling, ketahuilah bahwa Alloh hendak menimpakan musibah kepada mereka disebabkan dosa-dosa mereka…” (QS. Al-Maidah: 49),
… mereka beralasan ingin melakukan kebaikan dan pendamaian; yaitu pendamaian dua kubu yang bermusuhan sebagaimana klaim seseorang yang ingin mempersatukan antara apa yang dibawa rosul Shollallohu ‘alaihi wa Sallam dengan apa yang bertentangan dengannya yang dengan itu ia merasa dirinya pelaku perbaikan yang bertujuan berbuat baik, mendamaikan, dan merasa dirinya beriman. Padahal sesungguhnya orang seperti ini justeru akan menyulut api pertempuran antara apa yang dibawa Rosul dengan apa saja yang bertentangan dengannya, entah itu berupa tatacara hidup, ajaran, keyakinan, perpolitikan, mau pun pemikiran. Padahal sebenarnya, keimanan yang murni adalah meyakini pasti terjadinya konfrontasi antara kedua hal yang bertentangan ini, bukan mendamaikannya. Wa billâhi `t-Taufîq.
Dan alangkah indah ungkapan yang disampaikan oleh Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ibrohim Al-Busyanjiy, beliau berkata, “Kewajiban bagi semua ahli ilmu dan kaum muslimin adalah konsisten dalam mencukupkan diri mengikuti sunnah. Hendaknya mereka semua menjadikan prinsip-prinsip ajaran yang berasal dari Al-Quran dan Sunnah sebagai rujukan puncak bagi segala pemikiran, bukan menjadikan pemikiran akal sebagai rujukan akhir dari prinsip-prinsip Al-Quran dan Sunnah.”
Kemudian, di sini ada satu perkara penting yang harus kita garis bawahi. Yaitu tentang masalah mencocokkan penerapan hukum-hukum syar‘î dengan realita dalam kehidupan (atau sering disebut wâqi‘), bahwa ini termasuk masalah yang sudah diatur dalam syariat, dianjurkan dan diperintahkan. Bahkan masalah ini wajib difahami ketika akan melaksanakan atau menerapkan hukum-hukum syar‘î. Hanya saja, bagi para pengikut THOIFAH MANSHUROH, ketika mereka mengikatkan diri dengan kaidah mencocokkan hukum syar‘î dengan realita, mereka menjadikan syariat sebagai tolok ukur dalam menentukan mashlahat dan mafsadah. Artinya, bagi mereka mashlahat adalah yang oleh agama dan syariat Alloh ditetapkan sebagai mashlahat, dan mafsadah adalah yang ditetapkan olehnya sebagai mafsadah. Tidak ada tolok ukur lain bagi mereka selain ini.
Makanya, para pengikut THOIFAH MANSHUROH tidak menjadikan kaidah “pencocokan antara syariat dengan realita” sebagai alat untuk membuat-buat perkara baru (bid‘ah), mengatakan atas Alloh tanpa dasar ilmu, berdekat-dekat dengan orang-orang dzalim, menghalalkan yang haram, mengharamkan yang halal, atau pun mempermainkan hukum-hukum syar‘î, sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyaka orang yang menjadikan akal dan hawa nafsu sebagai tolok ukur dalam menentukan mashlahat dan mafsadah. Akibatnya, mereka sesatkan orang banyak dan mereka sendiri sesat dari jalan yang lurus. Sebab mereka menganggap buruk apa yang baik menurut syariat serta menganggap baik apa yang buruk menurutnya, setelah itu mereka berlindung di balik kaidah “pencocokan antara syariat dan realita.” Mereka jadikan kaidah ini sebagai tempat bersembunyi, sebagai alat untuk mencapai misi-misinya, dan menjadikannya sebagai tameng pelindung sekaligus pedang di hadapan orang-orang menentang mereka.
Ini pula lah makna yang ditunjukkan oleh firman Alloh Ta‘ala:
مَاكَانَ لِنَبِيٍّ أَن يَّكُونَ لَهُ أَسْرَى حَتَّى يُثْخِنَ فيِ اْلأَرْضِ تُرِيدُونَ عَرَضَ الدُّنْيَا وَاللهُ يُرِيدُ اْلأَخِرَةِ وَاللهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Tidaklah pantas bagu seorang nabi mempunyai tawanan sebelum dia dapat melumpuhkan musuhnya di bumi. Kamu menghendaki harta duniawi sedangkan Alloh menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Alloh Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. Al-Anfal: 67)
Diceritakan mengenai sebab turun ayat ini, bahwa ketika kaum muslimin berhasil menawan musuh pada perang Badar, Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam bertanya kepada Abu Bakar dan Umar, “Apa pendapat kalian tentang para tawanan ini?” Abu Bakar berkata, “Wahai Nabi Alloh, mereka adalah anak-anak dari paman dan kerabat. Menurutku, mintalah tebusan kepada mereka agar kita semakin kuat dalam melawan orang-orang kafir. Semoga saja nanti Alloh memberi hidayah mereka untuk masuk Islam.” Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam berkata, “Apa pendapatmu wahai putra Khothob (Umar, pent)?” Umar berkata, “Tidak, demi Alloh, wahai Rosululloh. Aku tidak sependapat dengan Abu Bakar. Menurutku, engkau izinkan kami memenggal leher mereka. Engkau izinkan Ali memenggal leher Ashim, engkau izinkan aku memenggal si fulan (yang masih kerabat Umar), sebab mereka adalah para pemimpin dan tokoh kekafiran.” Umar menuturkan, “Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam lebih cenderung kepada pendapat Abu Bakar dan tidak cenderung kepada kata-kataku. Keesokan harinya, aku datang dan ternyata Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam dan Abu Bakar terduduk sambil menangis. Aku bertanya, “Wahai Rosululloh, beritahu aku mengapa engkau dan temanmu menangis? Kalau aku bisa menangis aku akan menangis, tapi jika tidak maka aku akan berusaha menangis karena tangisan kalian berdua.” Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Aku menangis karena tawaran-tawaran yang teman-temanmu ajukan kepadaku untuk meminta tebusan kepada para tawanan itu. Dan telah diwahyukan kepadaku bawa hukuman mereka lebih dekat daripada pohon ini.” Maka Alloh menurunkan ayat:
مَاكَانَ لِنَبِيٍّ أَن يَّكُونَ لَهُ أَسْرَى حَتَّى يُثْخِنَ فيِ اْلأَرْضِ
“Tidaklah bagi seorang nabi memunyai tawanan sebelum dia dapat melumpuhkan musuh di bumi…dst”.
Hadits ini menunjukkan bahwa ukuran dalam menentukan  mashlahat adalah apa yang disyariatkan dan diridhoi Alloh bagi para hamba-Nya. Bukan dengan apa yang dianggap baik oleh akal, meskipun itu berasal dari orang-orang yang memiliki kedudukan dan ketokohan dalam agama ini dari sisi ilmu mau pun amal. Apalagi akal orang yang derajatnya lebih renadh dari mereka, di mana perbandingan ilmu dan amalnya jauh dengan mereka.
Di sini ada satu cara yang ditempuh banyak orang dalam membenarkan sikap “menyerah”nya. Yaitu berdalil dengan apa yang disebut QOWA‘ID ‘AMMAH (kaidah-kaidah syar‘I yang bersifat global). Alasan seperti ini bisa dijawab dengan kita katakan bahwa penggunaan QOWA‘ID ‘AMMAH –berdasarkan keterangan para ulama—terikat oleh ijmak(konsensus) tentang tidak bolehnya penggunaan kaidah tersebut menyelisihi nash-nash syar‘i. Maka jika ada ijtihad berdasarkan QOWA‘ID ‘AMMAH yang menyelisihi nash-nash syar‘î, tak diragukan lagi ijtihad tersebut adalah batil. Bahkan itu merupakan ijtihad yang tidak pada tempatnya. Dari sini, para ulama ulama menetapkan sebauh kaidah yang mereka sepakati, yaitu:

لاَ مَسَاغَ لاِجْتِهَادِ فِيْ مَوْرِدِ النَّصِّ
Tidak diperkenankan berijtihad pada hal-hal yang sudah ditentukan oleh nash.
Di antara bentuk ketercampur adukkan antara pencocokkan syariat dan realita serta kaburnya antara mashlahat-mafsadah dengan kebenaran menurut syar‘î adalah sikapa kebanyakan orang yang barangkali mencela orang lain yang melakukan perbatan terbaik, kemudian mereka anggap perbuatan itu adalah perbuatan yang jarang dilakukan orang. Ini terjadi karena cara pandang yang lemah atau karena memilih perbuatan yang dianggap lebih selamat dan waro‘. Padahal, waro‘ itu bukan saja menghindari perkara syubhat karena khawatir terjerumus ke dalam perbuatan haram atau makruh, termasuk waro‘ juga adalah melakukan perbuatan yang masih samar karena ada kemungkinan perkara itu sebenarnya wajib atau sunnah. Contohnya adalah yang dilakukan pemuda Ghulam dalam kisah Ashhâbu `l-Ukhdûd. Dalam kisah tersebut, pemuda Ghulam lebih memilih dibunuh daripada hidup, dengan bertujuan memenangkan agama dan menyebarkan dakwah. Sehingga, pilihan dan keinginan pemuda Ghulam –semoga Alloh meridhoinya—untuk mati itu adalah mashlahat dakwah.
Tarbiyah Jihadiyah Kontemporer
Seri IV

Tidak ada komentar:

Posting Komentar